26. Angel and Demon

3.7K 858 191
                                    

Di bordes, Dad berhenti karena berpapasan dengan Nana yang secara tak terduga hendak turun. Melihat ekspresi Dad, Nana tampak curiga. Ia menjulurkan leher dan melihatku di bawah. Menangkap ekspresiku, ia langsung berkacak pinggang, mencegah Dad naik.

"Kenapa lagi? Kamu apakan Wynter, Danar?" Nana bertanya keras-keras. Pasti karena ia tidak memakai hearing aid-nya

"Jangan bela dia sekarang, Ma. Nanti dia pikir apa yang dilakukannya benar."

"Kamu tuh bapaknya. Jarang ketemu. Masa kamu lebih suka di kamar?"

"Bukan gitu, Ma. Wynter ngoprek laptopku tanpa izin. Dia sudah besar, mestinya tahu itu salah."

"Ya pastilah lelah, karena kamu ke sini sambil kerja. Coba luangkan waktu libur khusus buat anakmu!"

"Astaga, Ma ...."

"Jangan suka membantah. Itu contoh buruk buat Wynter. Ayo turun sana, ngobrollah sebentar sebelum tidur. Apa lagi besok kamu pergi pagi-pagi sekali." Dengan muka dan rambut kusut, berdaster, Nana menggiring Dad turun lagi. Dad masih berusaha menjelaskan, tapi tidak didengar.

Sungguh epik. Dalam keadaan biasa, aku pasti terbahak. Tak ada yang bisa melawan Nana. Ia benar-benar menarik Dad agar duduk di meja makan. Lalu menepuk bahuku lembut dan mempersilakan aku duduk juga. Gestur yang jelas menunjukkan keberpihakan. Aku tersenyum padanya, sambil menangkap ekspresi kesal Dad.

"Aku buatkan kalian minuman. Kamu mau apa, Danar, cokelat panas atau kopi? Aku sudah enggak tahu lagi apa yang kamu suka." Nana lalu beralih padaku. "Wynter, Lady Grey tea. Kalau enggak kamu habiskan, mestinya masih ada. Nah, benar, masih cukup untuk satu mug. Nanti ingatkan Nana untuk stok lagi."

Nana pun sibuk sendiri, sambil terus mengocehkan susahnya mendapatkan teh kesukaanku, Lady Grey, loose leaf pula. Kalau Earl Grey banyak di supermarket, walau kebanyakan teh celup. Nana menyebutku picky, tapi ia maklum, ini pasti berkaitan dengan Mum dan memori terpendam dari masa kecilku.

Tanpa Nana sadari, ia telah memberiku kekuatan dan keberanian berhadapan dengan Dad. Aku menatap lelaki di seberangku setengah menantang. Go ahead, pindahkan saja aku ke Jakarta, kita dengar apa kata Nana nanti.

"Keputusanku sudah final." Dad mendelik, seakan dapat membaca pikiranku. "Kamu perlu pengawasan. Nana sudah tua, enggak bisa lagi mendisiplinkan kamu. Sudah waktunya ia menikmati ketenangan diurus oleh anak cucu, bukan mengurusi kamu terus. Olive akan mencarikan kamu sekolah yang bagus."

"You can't do that!" seruku lepas. Terlalu dini untuk merasa lega tadi. Bagaimanapun, apa yang dikatakannya tentang Nana benar. Kalimat terpanjang yang kudengar dari Dad, ajaibnya masuk di akal. Ya, aku tidak bisa menjaga Nana setiap waktu, apa lagi fokusku sekarang adalah Wynn. "Nana boleh pindah ke Bogor. Aku tetap di sini—"

"Jangan keras kepala! Ini demi kebaikanmu."

"Apa yang Dad tahu tentang kebaikanku kalau yang Dad lakukan cuma melempar aku ke sana kemari?!"

"Wynter!"

"Menyingkirkan aku sejak awal. Menyimpan rahasia Mum. Dan sekarang hendak memisahkan aku dari teman-temanku. Itukah yang disebut demi kebaikanku?"

"Kamu enggak mengerti." Dad mengusap wajahnya lelah.

"Buat aku mengerti, kalau begitu!" tuntutku. "Ceritakan tentang Mum!"

"Tidak ada gunanya kamu tahu sekarang."

"You're afraid I'll hate you," kataku sinis.

Dad menggebrak meja. "Go to your room!"

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang