22. The Real Fight Just Began

1.6K 328 48
                                    


Tiga orang yang baru datang itu langsung mengepung kami. Kudorong Wynn dan Hya ke belakangku. Tetap waspada dengan dua lelaki pertama yang sudah mencoba berdiri lagi. Total lima orang dewasa. Tampaknya bukan jenis yang bisa diajak bicara. Merasa lebih kuat di malam hari, di tempat sepi, dan berkelompok.

"Aku sudah memanggil Bang Tagor," bisik Wynn melirik tombol emergency di jam tangannya. "Perlu waktu untuk sampai ke sini. Apa yang akan kita lakukan?"

"Aku bisa berteriak minta tolong ...." Hya mengusulkan. Tapi kemudian membantah sendiri. "Enggak membantu banyak. Hanya ada beberapa orang di kedai-kedai itu, perempuan pula. Tapi mereka bisa memanggil polisi."

"Sama saja, polisi akan lebih lama lagi sampai. Ulur waktu sebisanya," kataku. "Tapi kalau sampai harus berkelahi, ini bagianku—"

"Ya, selalu gitu. Bagianku jadi cowok yang kamu suruh lari duluan," sela Wynn.

Aku mengabaikan protesnya. "Dengarkan, jangan membantah. Aku mau buka jalan buat kalian. Begitu kusuruh, lari cepat, masuk ke mobil, kunci." Kuberikan kunci mobil kepada Wynn. Lega anak itu menerimanya dengan patuh.

"Kamu sendiri gimana? Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa." Hya memegang lenganku, mengirimkan sensasi ribuan semut merayapi tubuhku. Mempercepat denyut jantungku. Apa pula ini? Uh, mungkin aku cuma terbawa suasana tegang. Sungguh, bukan waktu dan tempat yang tepat untuk merasakan yang aneh-aneh.

"Aku bisa jaga diri," sahutku sambil menarik tanganku lepas. Hya tampak kaget. Aku menghindari pandangannya. Untuk mengurangi rasa bersalah, aku berkata, "Pastikan saja kamu dan Wynn menjauh dari sini. Aku enggak bebas bergerak kalau harus mikirin kalian juga." Aah, bahkan kata-kata dan nada suaraku keliru, membuat Hya marah.

Tidak ada waktu untuk itu, karena dua orang sudah maju dengan gerakan menggertak. Aku bergeming, tenang, karena sikapku pasti mempengaruhi Wynn dan Hya. Aku tidak ingin mereka ketakutan. Tapi orang-orang itu malah menganggapku menantang. Satu lagi maju. Tiga orang berdiri dengan jarak semeter di depanku. Samping kiri pun terbuka, peluang yang tak kusia-siakan.

"Tidak malu keroyok orang asing? Mau perang sama Inggris, hah?" kataku, asal bicara, sengaja dengan bahasa Indonesia terpatah-patah berlogat British. Sekadar untuk membuat mereka berfokus padaku. Pelan-pelan aku memutar badan ke kanan, memancing orang-orang itu bergerak mengikuti. Sementara tanganku diam-diam memberi isyarat ke belakang agar Wynn dan Hya bergeser ke kiri. "Jangan macam-macam sama anak diplomat. Bisa gawat nasib kamu-kamu! Mundur!"

Bentakanku manjur juga. Sebagian dari mereka terpaku ragu, dan sebagian lagi mundur selangkah. "Go, go!" Aku mendorong Wynn.

Begitu Wynn dan Hya lari, mereka tersadar. Satu orang bergerak mengejar. Aku mengadang, mendorong dadanya dengan dua tangan. Kontak itu seolah menjadi aba-aba bagi yang lain untuk menyerbuku. Bagus, tidak ada lagi yang berminat mengejar Wynn dan Hya. Aku bisa tenang membagi pukulan dan tendangan ke sekeliling.

Jangan bayangkan adegan film kungfu yang jagoannya sakti. Aku bukan Jet Li, bukan Ji Chang Wook. Aku malah belum mencapai harapan Master Zhang bagi pemegang sabuk cokelat setrip dua. Untuk dua pukulan yang kuhantamkan dengan telak, aku harus menghindari tiga serangan lainnya dan salah satunya pasti menyerempet tubuhku. Tendangan lebih efektif menjauhkan penyerang. Tapi orang-orang ini mulai nekat. Tidak kapok menerima tinju, sodokan lutut dan siku, atau tendanganku. Mereka seperti tidak merasakan sakit, malah semakin merapat. Aroma alkohol tajam tercium, membuat perutku mual, membuyarkan konsentrasi. Dan satu pukulan mendarat di bahu kananku, mengirimkan getaran nyeri hingga ke siku. Aku terhuyung. Kesempatan buat yang lain untuk melancarkan pukulan ke arah muka. Kutarik kepala ke belakang, terlambat, tinjunya masih menyerempet rahang dan bibirku. Uugh!

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang