23. Angry Wynter

4.5K 836 181
                                    

Reality check: Kamar di Paviliun Wynn. Senin, libur khusus Sekolah Darmawangsa. Pukul 03.20.

Suara Wynn berdoa sayup-sayup menyelusup ke telingaku. Masih jauh dari subuh. Tapi kantukku langsung buyar. Udara dingin pun tidak menggodaku untuk menarik selimut kembali. Apalagi saat suara Wynn tiba-tiba tersendat oleh isak tertahan. Aku melompat bangkit, hendak lari ke kamar sebelah, tapi kemudian tertegun. Mau apa aku? Wynn sedang mengadu kepada Tuhan. Siapa aku, sok ingin menghiburnya?

Aku duduk di tepi dipan, mendesah berat. Perasaan tidak berdaya itu sangat menyiksa.

Tiba-tiba saja kata-kata guru PAI terngiang. Ia mengutip ayat Alquran atau hadis, enggak yakin yang mana, tapi intinya begini: kejarlah duniamu seakan kamu bakal hidup selamanya dan kejarlah akhiratmu seolah kamu akan mati besok.

Jelas, Wynn sedang melaksanakan anjuran kedua. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sementara aku berkali-kali mengajaknya "menikmati hidup", mengejar apa yang belum ia capai, dengan alasan terbalik; mumpung masih ada waktu di dunia ini. Uugh.

Masalahnya bukan pada pilihan menikmati hidup atau beribadah tekun, melainkan pada kata "seolah" yang nyaris pudar, meninggalkan frase "kamu akan mati besok" yang lebih nyata.

Resah, aku keluar kamar. Kaki telanjangku tidak menimbulkan bunyi di lantai marmer. Tujuanku adalah tanah lapang di samping pav. Aku bisa lari berkeliling atau berteriak sepuasnya untuk melonggarkan dada. Namun pintu kamar sebelah tidak tertutup rapat dan aku bisa melihat Wynn sedang bersujud. Punggung dan bahunya berguncang oleh tangis tanpa suara.

Aku terpaku. Tuhan, kalau aku masuk dan bersujud di samping Wynn, lalu meminta apa yang Wynn minta, apakah kemungkinan dikabulkan lebih besar? Kalau ya ... apa pun kulakukan untuk Wynn. Begitu saja aku melangkah ke dalam kamar. Bersujud di lantai yang dingin. Beku merayap cepat dari jidat ke hidung dan telapak tangan. Tidak terpikir untuk menggelar sajadah.

Kalaupun Wynn mendengar gerakanku, ia memilih berfokus pada doanya di dalam hati. Maka aku pun bertahan pada posisiku sampai kepalaku terasa berat. My goodness, aku rela demi kesembuhan Wynn sesembuh-sembuhnya.

"Wynter, what are you doing?"

Masih bersujud, aku menoleh dan bertatapan dengan mata basah Wynn yang juga masih bersujud. Bibirnya menguakkan senyum.

"I am praying. Meminta apa pun yang kamu minta." Kudengar suaraku serak. Aku berdeham. Lalu bangkit duduk mengikuti Wynn.

"Jangan ikut-ikutan. Terutama yang berkaitan dengan ritual agama. Kamu harus melakukannya dengan keyakinan sepenuh hati," katanya tertawa. Kontras dengan air matanya yang meleleh. "Lagian, gimana kamu tahu permintaanku sama dengan yang kamu mau?"

"Emangnya kamu berdoa apa?" Aku menatapnya curiga. Wynn punya hati dan pemikiran malaikat, tapi siapa tahu ....

"Aku berdoa buat kamu dan semua orang yang kusayangi agar tetap bahagia meskipun aku enggak ada. Aku minta agar kalian rela—"

"What?" Aku terenyak. Mulutku membuka hendak protes lebih jauh. Doa macam apa itu? Wynn bisa meminta sembuh total, kan? Kenapa tidak? Tuhan Mahakuasa, kan?

"Aku tahu kamu bakal enggak suka," katanya, sambil menyodok kakiku main-main. "Wynter, kesembuhan fisik total itu mukjizat. Aku selalu memintanya. Tapi kalau Tuhan memberiku kesembuhan yang berbeda, aku percaya itu yang terbaik."

Aku memelotot saat Wynn menunjuk hatinya. "Apa maksudmu, kesembuhan berbeda?"

"Kesembuhan hati. Ikhlas menerima apa pun yang Tuhan tentukan untukku." Dan air matanya kembali jatuh.

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang