9. Cewek dan Akal

2.8K 461 86
                                    

Wynn membalikkan badan, menghadap tembok. Percakapan berakhir. Aku kembali ke tempat tidurku. Marah ditambah tak berdaya hasilnya sesak dada. Untuk beberapa lama aku duduk diam, menatap punggungnya. Aku tahu, Wynn tidak jadi menangis. Dengan masalah seberat itu, hanya berarti satu hal: sadar bahwa air mata sudah tidak ada gunanya. Artinya, ia sudah melalui fase banyak menangis dan fase menahan tangis. Aku tahu karena sudah sering mengalami fase-fase itu, lalu sampai pada tahapan: buat apa menangis? Yang ditangisi bahkan tidak pernah tahu.

Orang menyebutnya tahapan tawakal, berpasrah diri. Aku menyebutnya go with the flow, que sera sera, come what may, peduli amat, apatis.

He's dying.

For the love of God! Bagaimana mungkin aku apatis soal itu? Pasti keluarga kaya dan berpengaruh ini berusaha keras menyembuhkan sakitnya. Sakit apa sebetulnya? Wynn kurus dan menghindari tangga, sekarang aku mengerti. Tapi cuma itu. Setiap kali bertemu dengannya, kulihat ia sehat dan riang. Aku tertegun. Sakit yang tidak tampak sakit itu biasanya justru .... Ah!

Resah, aku membuka-buka WMHS 279 dan 299. Pasti dipilih Hya dengan satu alasan. Tapi dua kali skimming, mataku tidak juga menangkap apa pun yang penting. Dasar cewek itu makhluk serbagaje. Tidak ada petunjuk apa-apa. Isinya bahkan tulisan Hya semua. Wynn enggak ikut menulis, di bulan November, saat mereka kelas 7; dan Juli, awal kelas 8.

Mau tidak mau, aku membaca kedua buku harian itu dengan cermat. Selesai pukul 02.30, aku bisa mengambil kesimpulan: Wynn dalam kondisi tidak memungkinkan untuk menulis. Besar kemungkinan karena sakit dan Hya tidak bisa menjenguknya. Setiap catatan Hya diakhiri dengan PS. I miss you. Tapi seperti kubilang tadi, cewek ini malah meracau enggak jelas.

Absurd. Bagaimana tidak?

Hya malah meributkan banyak insiden "nyasar" yang menyebabkan ia ketinggalan PR, kelewatan tukang siomay favorit, kesalahan intonasi baca buku cerita di sanggar tunanetra, kekeliruan seragam karena lupa hari, dan lagi-lagi cekcok dengan teman sebangku.

Aku meletakkan WMHS di atas nakas, lalu meringkuk frustrasi. Kalau Wynn enggak mau bicara, dan Hya enggak bisa diharapkan memberi penjelasan, mungkin aku bisa bertanya-tanya pada keluarganya. Kenapa tidak? Begitu ada kesempatan, aku bisa ke rumah utama. Siapa pun yang kutemui akan kuinterogasi. Dengan rencana itu, aku mulai tenang dan memejamkan mata.

Sinar matahari dari jendela membangunkan aku beberapa jam kemudian. Perlu waktu lima menit lagi buatku untuk sadar sepenuhnya. Pukul 8.45. Kutu kasur kejepit! Aku amat sangat terlambat, dan sepertinya sudah ditinggal Wynn. Tempat tidurnya rapi. Paviliun sepi.

Terhuyung aku keluar kamar. Di meja makan, tampak sarapan terhidang. Wow .... full course. Bukan roti panggang atau nasi goreng ala kadarnya. Perutku mendadak bernyanyi sendu. Bergegas aku mandi, lalu memakai seragam yang kusutnya berlipat ganda karena tertumpuk buku-buku di dalam ransel. Biarlah. Tidak ada orang yang perlu kubuat terkesan dengan penampilanku.

Duduk di meja makan, aku baru melihat WMHS 328. Buku baru, nomor terbaru. Pada halaman pertama, Wynn menulis untukku.

.

.

Wynter Mahardika!

Harus gimana aku bangunin kamu? Kupikir ungkapan sleep like a log itu lebay. Ternyata benar, kamu tidur kayak batang pohon tumbang. Terpaksa aku tinggal. Aku enggak sekolah lagi hari ini, karena perlu terapi. Kalau kamu masih mau ke sekolah (sebaiknya sih, biarpun terlambat), telepon Bang Tagor saja di nomor 34. Dia akan mengantar kamu. Oh ya, ini hari Kamis. Kamu temani Hya ke sanggar sepulang sekolah. Hya sudah setuju. Please, be good. Buktikan pada Hya, aku enggak salah pilih. Selesai terapi, aku nyusul ke sanggar, kita pulang bareng. Oh ya, buku ini mengawali episode kita bertiga. Anggaplah sebagai transisi atau latihan. Mulailah menulis sesuatu di sini. Lalu berikan pada Hya.

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang