16

7.9K 1.3K 86
                                    

*

*

*

*


Jongin memang tidak memiliki mobil semewah Sehun atau Ten, tapi Taeyong selalu menikmati perjalanan bersama pemuda berkulit tan itu. Deru mobil dan lantunan lagu dari speaker selalu hanya menjadi white noise yang teredam oleh celotehan Jongin. Alunan cerita yang seolah tak habisnya itu sebenarnya biasa ia dapati juga bila bersama Ten. Bedanya, warna suara bass Jongin terdengar lebih bersahabat. Mengalunkan kisah dalam suasana hangat yang membuat perjalanan mereka lebih menyenangkan (tanpa perlu ditemani lengkingan-lengkingan memekakkan telinga).

Malam itu pun tidak berbeda dari rutinitas mereka. Tepat pukul 12 sesi kelas malam berakhir. Kedua instruktur untuk dua program berbeda ini meninggalkan studio beriringan dengan para murid yang sebagian besar mendapat jemputan atau tumpangan menuju kediaman masing-masing. Tak terpengaruh oleh larutnya malam ataupun lelahnya otot, Jongin menuturkan kisah yang dialaminya hari itu. Hanya kejadian-kejadian sepele yang tidak istimewa sebenarnya, namun Taeyong tetap senang mendengarkannya.

Kemudian ponsel Jongin yang diletakkan di atas dashboard berbunyi. Panggilan itu diterima dengan raut bingung. Yang sesaat kemudian berganti menjadi ekspresi horor. Wajah tampan berkulit tan tampak pucat. Rem mobil diinjak mendadak menimbulkan decit ban serta hentakkan tiba-tiba. Sebuah tindakan yang cukup bijak sepertinya, karena kedua tangan lelaki itu bergetar samar. Entah apa yang akan terjadi bila mereka terus melaju dengan Jongin yang sedang shock dan Taeyong yang memiliki kemampuan nol dalam menyetir.

"....nenekku...."

Adalah satu-satunya yang bisa Jongin ucap setelah panggilan ditutup. Namun, Taeyong dengan segera paham. Jongin pernah bercerita soal kondisi neneknya di Busan. Dan menjadi seorang bisu membuat Taeyong lebih mudah memahami hal-hal yang tidak tersurat.

['Kau baik-baik saja? Kurasa sebaiknya kau tidak menyetir sendiri ke bandara, hyung.']


Jongin mengangguk setuju.

Setelah beberapa tarikan napas panjang (ditemani tepukan menenangkan dari jemari kurus Taeyong), pemuda itu lanjut berujar. "Kyungsoo akan kemari."

Raut bersalah kemudian membayangi parasnya. "Maaf aku tak bisa mengantarmu. Apa kau ingin ikut ke Busan?"

Taeyong tersenyum dan menggeleng pelan. ['Aku harus pulang. Maaf tidak bisa menemanimu sekarang, hyung. Aku akan berkunjung setelah mendapat izin Jaehyun.']

Selang berapa menit kemudian mobil Kyungsoo tiba bersama Baekhyun. Dengan Kyungsoo yang ganti membawa mobil Jongin, ketiganya melaju menuju bandara.

Baekhyun sebenarnya sempat menawarkan untuk ganti mengantarkan Taeyong. Namun, lelaki ini mengerti betapa pria bertubuh mungil itu sangat ingin menemani sepupunya. Maka, dengan ulasan senyum dan torehan kalimat ['Tidak usah mengkhawatirkan aku, aku akan panggil taksi atau menghubungi Jaehyun'], Lee Taeyong pun diturunkan di jalan.

Sebuah kebohongan putih, yeah.

Karena pertama, ia tidak pernah ingin memanggil taksi. Kedua, ia tidak bisa menghubungi Jaehyun--mereka belum sempat bertukar nomor kontak. Dan ketiga, sebenarnya Taeyong tidak tahu ia ada di mana saat ini.

.

.

.

Percayalah, Taeyong sempat memanfaatkan teknologi dengan menggunakan gps untuk mencari jalan pulang. Rute yang bisa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Karena ini sudah terlalu larut hingga tidak lagi ada bis ataupun subway yang masih beroperasi -- meski seandainyapun masih ada, ia tetap tidak akan menjadikannya opsi.

Teman Hidup [JAEYONG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang