Bab 20 : Meet

840 71 22
                                    

Hari berganti. Mahasiswa dari seluruh penjuru dunia, menjadi satu di kelas siang ini. Sebagian besar sudah meninggalkan kelas, tersisa Hana dan satu orang wanita berkulit hitam yang duduk di pojok. Mr. Harry, dosen yang baru saja selesai mengisi kuliah berjalan mendekati Hana yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Apakah kamu Hana dari Indonesia?"

Hana yang tadi duduk, langsung berdiri menghadap dosen yang namanya mirip pangeran yang baru saja menikah itu. "Yes, Sir."

"Saya suka tulisanmu di web jurnal ekonomi tentang Islamic Finance."

Tulisan Hana tentang sistem pengaturan keuangan di dalam Islam, sebenarnya ia tulis sewaktu S1. Beberapa waktu lalu, ia iseng menerjemahkannya dan mengirim ke kampus. Alhasil, tulisannya berhasil lolos seleksi dan dimuat versi web. "Thank you, Sir."

"Saya diundang untuk menghadiri sebuah konferensi. Tapi di tanggal itu, saya harus pergi ke Jerman. Kamu bersedia menggantikan saya menjadi pembicara di acara itu, Hana?"

Hana mematung. Tentu saja. Kapan lagi ia dapat berbicara di depan orang-orang penting berjas rapi dan elegan.

"Kamu hanya perlu memaparkan lebih detail tentang tulisanmu itu. Tidak akan sulit. Apakah kamu bersedia?" Mr. Harry bertanya lagi.

"Saya bersedia, Sir." Hana tersenyum lebar, ia tak perlu berpikir panjang. Ini kesempatan.

"Baiklah. Kampus akan membiayai tiket pulang pergi. Kamu hanya perlu menyiapkan materi presentasi dan mungkin biaya sendiri untuk jalan-jalan."

Tunggu. Tiket? "Di mana acaranya, Sir?"

"Di Seoul, Korea Selatan."

WHAT? Hana menelan ludah. Jauh sekali.

"Tiga hari saja. Konferensi dua hari, sehari untuk kamu jalan-jalan." Mr. Harry tersenyum.

"Okay, Sir."

Hana ke luar dari ruang kelas. Ia berjalan masih agak pincang menuju asrama. Cuaca hari ini cukup mendukung hatinya yang sedang berbunga-bunga. Tentu saja, selain mendapat kesempatan emas dari Mr. Harry, tadi malam ia memberitahu Gania kalau dirinya bersedia melakukan taaruf dengan Fathir. Ketika mengirim pesan itu, jari-jari Hana bergetar, pun dengan hatinya tak kalah kencang berdegup.

Biasanya, taaruf berlangsung selama satu sampai dua bulan, bisa juga lebih. Tergantung sebanyak apa informasi yang diperlukan. Kedua belah pihak dapat saling bertanya satu sama lain melalui perantara mereka. Tidak boleh berkomunikasi secara langsung.

Untuk mengetahui karakter dan kebiasaan calon pasangan. Bisa bertanya pada teman dekat, keluarga atau guru ngaji yang bersangkutan. Stalking media sosial atau menatap wajah lekat-lekat pun jadi halal selama proses taaruf.

Hana merasa tidak perlu melakukan itu semua, bahkan ia berharap bisa akad secepat mungkin. Namun, belum tentu itu juga yang Fathir rasakan. Tugasnya sekarang adalah menunggu... menunggu kabar apapun dari Gania.

###

Jarum jam berputar cepat. Hari berubah menjadi minggu.

Tidak ada informasi apapun dari Gania. Hanya sekali saja, kemarin Gania bertanya tentang bagaimana hubungan Hana dengan papa. Tentu saja, Hana harus menjawab jujur.

"Papa masih tidak menganggapku sebagai anak, Kak. Sejak aku diusir enam tahun lalu, papa tidak pernah ingin bicara. Alasannya ya, karena aku dianggap mengkhianati agama leluhur keluarga kami dengan menjadi mualaf."

HANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang