Bab 17 : Eiliya

935 80 19
                                    

Matahari menampakkan dirinya di langit pulau Lombok. Fathir memperhatikan orang-orang berlalu lalang di depan rumahnya untuk berangkat bekerja. Ia tinggal di kota kecil yang tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok. Meskipun sudah berstatus kota, tempat itu masih berbau pedesaan. Mata pencaharian penduduk adalah petani, tukang bangunan, pedagang atau yang paling keren adalah guru SD.

Selain itu, pemuda yang baru lulus SMA biasanya langsung mendaftar menjadi TKI ke Malaysia, Arab Saudi atau Taiwan. Sedikit sekali yang memiliki pola pikir seperti Fathir, memprioritaskan pendidikan. Bahkan setelah S1 pun belum cukup, S2 masih merasa bodoh dan sekarang ia merencanakan untuk S3.

Fathir membuka laptopnya, mengetik ini itu. Setelah mengoneksikan laptop dengan hotspot HP, emailnya berdenting tanda pesan masuk. Ia segera membuka email yang rupanya dari Prof. Habib Izzeldin, dosen Fathir ketika S2 di Durham University. Ini pasti penting.

Fathir membelalak ketika membaca inti dari email itu. Ia celingak-celinguk. "Bu... ibu dimana?" panggilnya.

"Belakang. Ada apa?" Ibu Halima berteriak seraya menyampirkan cucian di tali panjang.

Fathir tidak menjawab, ia melihat sekali lagi layar laptopnya.

Ibu Halima selesai menjemur lima menit kemudian. "Ada apa?"

"Bu... Fathir tidak tahu ini berita baik atau buruk."

Raut wajah Ibu Halima penuh tanya.

"Barusan Fathir dapat email dari Profesor Habib dari Inggris. Beliau mengirim surat rekomendasi agar Fathir S3 disana. Dan... Fathir dapat beasiswa penuh dari sebuah perusahaan yang kebetulan pemiliknya adalah teman baik Profesor Habib."

Ibu Halima mengerutkan dahi. "Harusnya ini berita baik, Nak! Tapi kenapa kamu tampak bimbang?"

"Hm... Fathir harus kesana dua bulan lagi. Dan... kursus bahasa Korea jadi sia-sia." Wajah Fathir melesu.

"Hush! Ilmu itu nggak ada yang sia-sia. Suatu saat mungkin akan berguna." Ibu Halima tersenyum. "Tapi... Nak... ibu lebih senang kalau kamu kuliah di sini saja, biar ibu bisa merawatmu."

"Bu..." ekspresi Fathir memohon untuk tidak membahas itu lagi.

"Iya ya... apapun pilihanmu ibu akan meridhoi."

"Terimakasih, Bu." Fathir memeluk ibunya.

"Nak, kamu sebentar lagi dua tujuh. Bagaimana kalau menikah dulu? Setelah itu bawa istrimu ke luar negeri. Biar ada yang memperhatikan kesehatanmu. Itu akan romantis sekali seperti di tivi-tivi."

Fathir tertegun di pundak ibu. "Bagaimana kalau ibu saja yang ikut ke luar negeri?"

Ibu Halima terkekeh. "Jangan bercanda!"

Fathir menyengir.

"Ibu serius lo... tentang menikah. Ibu punya teman dan anak perempuannya cocok de..."

"Bu..." Fathir memotong. "Tenang saja! Fathir akan menemukan perempuan yang bukan hanya cocok denganku tapi juga dengan ibu. Tapi... tidak tahu kapan." Ia menyeringai.

"Hm... kalau begitu, ibu mau umur tiga puluh kamu harus sudah menikah. Titik."

Lengang.

Fathir menelan ludah. "Insya Allah."

###

Di bumi seberang. Matahari menyingsing, menembus kaca kecil apartemen Ji Hyun. Waktu sudah menyembuhkan sakit di kepalanya, perban sudah dilepas. Hanya ada plester di kening sebelah kanan, tapi itu tak mengapa. Mungkin beberapa hari lagi bekas luka akan hilang sempurna.

HANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang