Bab 4 : Kenapa Kita?

1.4K 142 22
                                    

Ji Hyun berbaring di tempat tidurnya, setelah hampir seharian menikmati keindahan alam di luar sana. Kedua tangannya menyilang di belakang kepala sebagai bantal. Ia menatap langit-langit hotel yang berwarna putih itu. Matanya tidak berkedip.

Dering HP-nya tiba-tiba berbunyi, ia segera bangkit dan mengambilnya di atas meja. Layar HP-nya tertulis "Appa". Ia segera mengangkat video call tersebut.

"Halo. Ayah." Sapa Ji Hyun dalam bahasa Korea.

Ayahnya nampak sumringah di layar, "Bagaimana liburanmu, Hyun-a?" ayahnya duduk di kursi empuk yang tak ia kenal.

"Menyenangkan, Ayah."

"Bagaimana Indonesia?"

Ji Hyun mengambil posisi duduk di dekat jendela dan mengarahkan layar HP-nya ke udara, "Inilah Lombok kalau malam, Ayah." Ucapnya lalu kembali meletakkan HP di hadapannya.

"Cantik sekali." Ayah Ji Hyun tersenyum simpul.

"Kalau ayah bagaimana? Apa London menyenangkan?"

Ayahnya tertawa, "Hyun... London memang indah dengan bangunan klasik nya. Tapi kamu tahu, ayah kesini bukan untuk liburan."

"Ya... di akhir pekan ayah bisa jalan-jalan." Ji Hyun menghela napas, "Jangan bekerja terus!"

Ayahnya tersenyum simpul, "Baiklah. Ayah akan mempertimbangkannya. Good night!" Tutup ayah dan mematikan video call.

###

Malam semakin hitam, bulan tampak indah menggantung di langit. Angin menerpa pipi Ji Hyun. Ia masih duduk di kursi menghadap ke luar jendela yang sengaja ia buka. Matanya belum juga bisa terpejam, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh.

Ia menyeruput cappucino yang dipesannya beberapa menit yang lalu. Matanya mengarah ke HP di atas tempat tidur, ia segera mengambilnya. Ia mengetik kata "Islam" di Google. Lalu jutaan artikel terpampang di depannya.

Ia membaca banyak artikel selama satu jam. Matanya merekah dan hatinya terenyuh ketika tiba pada artikel tentang pembantaian muslim di Rohingya. Lalu dia pindah ke artikel tentang haji, dia mendapati orang-orang berkumpul di Mekkah, semua ras dan etnis terlihat bersatu, satu irama. Kenapa mereka menyembah Tuhan yang tidak tampak dan sangat patuh pada-Nya? Ji Hyun membatin.

Ia menggeser kursi dan menyabet jaketnya, ia keluar dari kamar hotel dan pergi ke suatu tempat.

###

Hana merapikan tempat tidurnya dan mengambil posisi. Ia berdoa lalu mematikan lampu. Pendengarannya hilang setengah jam kemudian, tapi tiba-tiba suara dering HP mengagetkannya berkali-kali. Ia melirik layar HP-nya, ada sepuluh miss call dari Ji Hyun. Tangannya menekan tombol "panggil".

"Ada apa, Tuan?" tanya Hana setelah teleponnya diangkat beberapa detik kemudian.

"Apa kamu bisa kesini sekarang? Kafe dekat King Bar?" Suara Ji Hyun samar di ujung telepon.

"Maaf Tuan, kantor sudah tutup dan mobil disana. Hm... ditambah ini sudah larut malam." Suara Hana melembut. Ia melirik jam dindingnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. "Halo." Suara Hana menyapa karena Ji Hyun diam agak lama.

"Eh, i-ya... Oke. Tidurlah! Besok jemput saya jam delapan."

"Baik, Tuan."

###

Melki dan Hana menjemput Ji Hyun tepat waktu, mereka bersiap ke Gili Trawangan. Dua setengah jam perjalanan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

"Sopirmu kenapa tidak ikut dengan kita?" Tanya Ji Hyun pada Hana. Mereka duduk bersebelahan di pinggir pantai. Di sekitar mereka ratusan bule juga sedang berjemur. Melki mengantar mereka hanya sampai Pelabuhan Bangsal.

"Dia akan menjemput kita nanti sore." Hana menjawab singkat.

Ji Hyun mengangguk kecil.

"Anda tidak menyelam, Tuan?" tanya Hana yang sedari tadi krik-krik karena Ji Hyun diam cukup lama. "Tidak mungkin Anda hanya duduk disini, kan?"

Ji Hyun menoleh. "Iya, saya kesini untuk snorkeling. Tapi..." kalimatnya menggantung. "Izinkan aku bertanya terlebih dahulu."

Hana memperbaiki kerudungnya yang tertiup-tiup angin. "Silahkan!" katanya.

"Ini tidak ada kaitannya dengan wisata." Ji Hyun menggigit bibir bagian bawahnya.

"Tidak apa." Hana tersenyum.

Ji Hyun menghela napas. "Kenapa... kamu selalu mengatakan 'ini adalah ajaran agama', maksud saya apa yang membuat kamu begitu patuh?"

Hana tercengang mendengar pertanyaan Ji Hyun yang diluar dugaan, ia menghela napas agak berat. Pertanyaan ini berat baginya, terlebih ia harus menjelaskannya dalam bahasa asing. Hana memutar otak, memilih jawaban yang tepat untuk disampaikannya.

"Hei!" Ji Hyun menyadarkan Hana dari pandangan kosongnya.

Hana kaget. "Oh, Iya Tuan, begini..." ia membuka kalimatnya. "Hm... sejujurnya saya tidak tahu jawabannya. Karena saya adalah seorang muallaf. Saya baru masuk Islam enam tahun lalu." Hana menarik napas panjang. "Tapi kenapa saya selalu berkata 'ini adalah ajaran agama'. Karena patuh adalah cara saya bersyukur, Tuhan masih memberikan saya kesempatan hidup sampai hari ini." Hana menjawab seadanya. Ia melirik wajah Ji Hyun dua detik. Ia melihat ekspresi kurang puas di wajah laki-laki itu.

"Bisakah besok kita mengobrol lebih banyak?" tanya Ji Hyun dengan wajah datar.

Hana mengambil HP di tasnya. "Hm... maaf Tuan. Di jadwal..." Ia menunjukkan kepada Ji Hyun jadwal di HP-nya. "Besok pagi, pukul lima tiga puluh kami sudah harus mengantar Anda ke Bandara."

Ji Hyun tercengang. "Really?" Ia menunduk dalam sambil memegang kepalanya. Terdiam.

"Apa Anda lupa, Tuan?"

Ji Hyun menatap Hana lekat. "Kenapa kita harus berpisah secepat ini." Ia bicara dalam bahasa Korea.

"Apa artinya?" wajah Hana kebingungan. Ia hanya mengetahui bahasa Korea dasar dan dari kalimat Ji Hyun hanya kata 'wae' dan 'uri' yang ia pahami. "Kenapa kita... apa?"

Ji Hyun menggeleng. "Lupakan saja!"

______

Jangan lupa VOMENT ya dear, itu sangat berarti lo untuk motivasi aku melanjutkan kisah Hana dan Ji Hyun :D wkwk

#YukSalingSupport :) Thx **

HANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang