Bab 18 : Istikharah

978 75 26
                                    

Rumah sakit adalah tempat terbaik mengingat. Mengingat kemalasan kita menjaga rahmat sehat yang telah diberikan. Mengingat rasa sombong kita yang tidak berterimakasih atas napas gratis, tidak harus membeli tabung oksigen. Mengingat selama ini ternyata sedikit sekali kita bersyukur atas setiap episode hidup yang Allah berikan. Mengingat suatu hari semua akan hilang, semua partikel apapun di dunia ini akan kembali menjadi tidak ada.

Pemahaman tentang ketiadaan membawa Fathir menyusuri lorong rumah sakit yang lengang. Dengan bau obat-obatan di sekitar. Ia melangkah ke ruang dokter spesialis organ dalam, dokter yang waktu itu memerikasanya.

"Semua akan baik-baik saja kan, Dok?" perasaan Fathir berada antara ketakutan dan harapan. Ia baru saja menceritakan keinginannya untuk ke luar negeri. Ia khawatir apa akan berpengaruh pada jantungnya.

Si dokter diam sebentar. "Kita berdoa saja. Kalau aktivitas di sana tidak terlalu menyita, Anda bisa lebih memperhatikan kesehatan."

"Itu kekurangan saya, Dok. Kuliah kali ini mungkin akan memerlukan waktu yang cukup lama dan menyita. Saya takut tidak bisa merawat diri sendiri karena kesibukan ini itu. Tapi saya harus tetap pergi, Dok. Ini kesempatan emas bagi saya."

Si dokter kembali diam. Berpikir. "Kalau begitu... ajaklah seseorang pergi bersama Anda, Tuan Fathir. Seseorang yang sanggup merawat, mengatur jadwal makan, olahraga dan istrirahat Anda."

Fathir menunduk. Merenung satu menit. "Baiklah, Dok. Saya akan mempertimbangkan saran Anda."

Setelah ke luar dari ruang dokter. Fathir berjalan dengan langkah lemah di lorong menuju tempat parkir. Ia sedang berpikir. Sebelum sepeda motornya melaju, ia mengirim pesan singkat kepada Yahya. Mengajaknya bertemu.

"Sepertinya ada yang penting sekali, Akh." Yahya membuka percakapan ketika mereka bertemu di masjid, tiga puluh menit kemudian. "Kelihatan sangat cemas."

Mereka memutuskan bertemu di masjid, sekalian menunggu solat dhuhur satu jam lagi.

Fathir membuka suara, ia menceritakan apa yang dokter katakan. "Ana benar-benar harus pergi ke Inggris." tambanya di akhir cerita. "Meskipun kata dokter jantung ini berpotensi semakin melemah."

"Tunggu tunggu... Inggris? bukan Korea?"

Fathir mengangguk. "Ceritanya panjang, Akh. Yang penting sekarang, ana butuh seseorang untuk menemani."

Yahya diam sebentar. "Jadi... maksud antum... antum mau ngajak ana?" Ia menunjuk diri sendiri.

Fathir menggeleng.

"Lalu?"

"Sepertinya ana harus menikah sebelum berangkat."

Yahya tersentak sebentar. Ia memutar otak. "Hm... baiklah. Insya Allah nanti ana tanya istri, semoga ada akhwat yang siap untuk taaruf."

"Aamiin... jazakillahkhoir, akhi."

###

Musim gugur masih menyelimuti kota London. Hana bangkit dari tidurnya, duduk. Ia masih mengipas-ipas kakinya dengan kertas ketika HP-nya berdering. Ia langsung memasang wajah sumringah. Itu video call dari Clara.

"Hana. I miss you." Wajah Clara memenuhi seluruh layar.

"I miss you too."

"Aku punya kabar baik, Na."

"Apa itu?"

"Mungkin ini yang kita sebut takdir atau keajaiban." Clara menghela napas. "Papaku, Na. Dia sekarang menjadi mualaf."

HANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang