BB 1- Boyd

52.4K 1.8K 111
                                    

Bab 1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bab 1

Udara di musim penghujan seperti sekarang benar-benar merusak penciuman, apalagi di daerah pajak. Pajak sentral, sambu, akan mengeluarkan bau tak sedap. Tercium seperti masakan basi yang gosong, ugghh...meskipun sudah sering menghirup bau tidak sedap seperti itu tetap saja aku tidak tahan lama-lama menciumnya.

Aku terus berjalan menyusuri gang yang di samping kanan-kirinya para penjual sayur-mayur sibuk merapikan dagangannya karena sebentar lagi langit akan gelap. Mereka akan pulang ke rumah dan kembali besok subuh.

Aku menyukai pribadi pedagang-pedagang itu. Mereka tidak berhenti jualan hanya karena turun hujan. Tenda-tenda segera didirikan untuk mencegah dagangan mereka basah. Kurangnya pembeli tidak pernah membuat mereka kehilangan semangat.

Salah satu dari mereka menyapaku. "Sedang mencari sepupumu, Boyd?"

Mereka semua mengenalku, begitupula sepupuku Benget yang kerap membuat masalah. Kalau aku berjalan di sore hari di gang ini, biasanya tujuanku hanya satu, mencari sepupuku itu.

"Iya, Bi." Wanita itu bersuku batak karo,dia sedang mengunyah demban. Mulutnya yang dipenuhi cairan merah terbuka saat dia berkata.

"Si Benget, kan?"

Aku berhenti di depan tikar jualannya yang sudah setengah dimasukkan ke dalam goni. "Bibi tahu di mana dia?"

"Di warung si Turnip, Boyd," katanya, memasukan dembannya yang hampir keluar kembali ke mulutnya. Aku pernah memakan demban, daun sirih yang di campur gambir dan pinang. Aku tidak tahu di mana letak keenakannya, rasanya pahit dan gigi jadi kuning setelah memakannya.

"Tadi dia berantam lagi," katanya memberitahu. "Dengan si Piyo. Kudengar gara-gara cewek."

Aku tidak akan terkejut dengan informasi itu. Benget bisa bertengkar karena alasan sepele. Bisa karena tersenggol tukang becak, merasa sok berkuasa, bisa juga karena kalah berjudi, mabuk, dan sepertinya sekarang dia mulai menyukai cewek. Padahal sebelumnya kupikir dia cuma suka berjudi dan mabuk.

''Aku akan pergi melihatnya, Bi." Aku menyingkir ketika seseorang membawa becak dorong berisi barang dagangan yang akan dimasukan ke gudang. Aku juga mengenalnya, pria berusia pertengahan empat puluh. Bersuku banjar, seingatku dia sudah bekerja di pajak sekitar empat tahun.

"Boyd," serunya sambil mengangkat tangan.

''Sehat, bang?" Aku ikut menaikan tangan membalas sapaannya. Pria itu berlalu, samar-samar kudengar dia mengatakan sehat.

Bunyi kendaraan selalu ramai. Klakson-klakson mobil, becak, dan sepeda motor beradu menimbulkan suara berisik khas ibukota. Pencopet-pencopet kecil berkeliaran. Badan mereka biasanya dekil, dan dengan mata yang awas dan geli mereka bisa tahu di mana seseorang meletakkan uang mereka. Sebagai saran, jika berjalan-jalan di pasar tradisional, khususnya di kota Medan, sebaiknya jangan meletakkan uang di saku bagian belakang. Jangan heran kalau ketika kalian melakukannya, dan beberapa saat kemudian sadar uang kalian telah raip. Tangan-tangan setan pencopet itu sangat ahli, sedikitpun kalian tidak akan tahu dia masuk ke dalam sakumu. Kenapa aku tahu? Karena aku pernah melakukannya.

Beautiful Bastard (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang