Bab 25
Hampir pukul dua pagi, tapi tempat ini masih dipenuhi teriakan-teriakan orang-orang yang tidak mengenal waktu. Bau keringat, rokok, darah dan entah apa lagi yang ada di sini. Semuanya bercampur, membentuk aroma tidak sedap familiar yang biasa dinikmati berandalan, sepertiku.
Aku tidak akan pernah menyebut diriku 'anak baik-baik' karena andai aku melabeli diriku seperti itu, tak ada orang yang percaya. Pikirkan saja, anak baik-baik mana yang masih berkeliaran hingga subuh seperti ini? Sudah pasti aku bukan bagian dari itu.
Ibu Benget akan menjadi orang pertama yang protes jika aku disebut anak baik-baik. Meskipun begitu aku tahu aku adalah salah-satu keponakan favorit-nya.
Aku tidak keberatan, sungguh. Menjadi apa yang diinginkan semua orang bukan keahlianku, aku cukup nyaman dengan diriku yang sekarang dan akan seperti ini selamanya. Persetan dengan penilaian orang, aku tidak pernah merugikan siapapun bila tidak mencari masalah denganku.
Lukas mengulurkan tangan ketika aku menghampirinya di sofa kebesarannya, seperti biasa kalau dia menonton pertandingan. Wanita-wanita mengelilinginya, berlomba menarik perhatiannya. Aku ikut diperhatikan saat mendekati tempatnya duduk. Dulu aku akan mengedipkan mata dan membawa satu wanita itu ke ranjangku---bukan hal sulit apalagi sudah jelas mata mereka memperlihatkan ketertarikan---tapi tidak sekarang. Membayangkan menindih wanita selain Kanaya membuatku kesulitan ereksi. Bayangkan betapa buruknya itu.
"Malam, bro. Kau sudah menerima chek-ku?"
Aku mengangguk. Satu jam yang lalu Billy memberitahuku Lukas membayar apa yang pernah kuberikan padanya. ''Kau tidak perlu mengembalikan uangku," aku duduk di sampingnya. "Uang itu milikmu, aku sudah memberikannya padamu.''
"Aku masih menganggapnya utang," katanya, mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya, dia menawariku, aku menolak. "Usahaku kembali lanjar, aku tidak suka berutang. Kau yakin tidak merokok?"
"Tidak malam ini," aku berencana ke rumah Kanaya setelah dari sini, jika dia mencium bau rokok dia akan kesal. Memang tidak sepenuhnya marah, tapi dia pasti menatapku dengan raut tidak suka.
Dia belum memberitahuku apa yang dilihatnya saat kami pulang dari Siantar, hingga tiba di rumahnya dia masih terlihat syok. Aku tidak bisa memaksanya. Akhirnya aku pulang, berjanji akan meneleponnya. Tapi saat aku menghubunginya dia tidak menjawab. Beberapakali aku mencoba, hasilnya tetap sama. Aku meyakinkan diriku bahwa dia membutuhkan waktu untuk sendiri, dan bukannya sedang menjauhiku. Aku mengkhawatirkannya, sampai-sampai menyuruh Reny memastikan Kanaya baik-baik saja. Aku memintanya meneleponku jika terjadi sesuatu. Hingga sekarang belum ada satupun dari mereka berdua yang meneleponku, semoga keadaannya baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Bastard (Playstore)
Romance18+ Kanaya berusaha melupakan masa lalunya yang buruk. Dengan pindah ke Medan bersama sahabatnya, ia berharap kenangan buruk itu takkan menghantuinya lagi. Boyd adalah cerminan anak jalanan yang biasa hidup dalam kekerasaan. Dia tidak mengenal kelem...