"Gita, lagi belajar, ya?" Sosok ibu yang menyembul dari celah pintu yang kubiarkan terbuka membuat atensiku meninggalkan lembaran kertas yang tengah kubaca. Celemek bercorak bebungaan menempel dengan manis di tubuh ibu—pemandangan yang sudah sering kulihat di rumah. Malah, rasanya kurang kalau tidak melihat ibu memakai celemek itu.
"Kenapa, Bu?"
Ibu tersenyum. "Tolong beliin gula, dong? Ayah lagi sibuk, nggak bisa pergi. Ibu harus jagain kue, takutnya gosong. Kamu lagi belajar, ya, tapi?"
Aku menggeleng, kemudian bangkit. "Bisa kok, ditinggal sebentar. Berapa, Bu?"
"Tiga kilo, ya. Nih, uangnya." Ibu mengulurkan beberapa lembar uang. "Ibu lebihin tuh, siapa tahu kamu mau jajan."
Kontan aku tersenyum lebar. Aku sempatkan untuk mengecup pipi ibu sebelum melenggang pergi. Minimarket kompleks berada tidak jauh dari rumah, jadi aku hanya perlu berjalan kaki.
Di sela-sela perjalanan, aku menggumamkan bait-bait lagu yang belakangan sedang kusuka. Dan seolah semesta tidak ingin aku menikmati waktu-waktu itu dengan tenteram, sebuah potongan peristiwa yang terjadi di sekolah siang tadi menerjang kepalaku. Ah, dasar si bodoh Ragita. Aku kontan mengerang apabila mengingatnya. Tak lupa, kupukul bibir berkali-kali. Mengomel sendiri.
Bagaimana tidak malu, sih? Bayangkan, kamu tersenyum kepada orang asing—tidak sepenuhnya asing, sih, karena sempat terlibat di suatu kejadian cuma belum sempat berkenalan—tetapi orang itu malah tidak membalas apa pun? Rasa-rasanya bayanganku akan lelaki itu runtuh; kupikir ia baik, ramah, dilihat dari tindakannya menolongku. Tampangnya juga terlihat seperti lelaki baik-baik, tidak neko-neko. Namun, tanggapannya yang seakan mengatakan kita tidak pernah bertemu sebelumnya membuatku sebal.
Sebal karena aku malu dibuatnya.
Aku menengadah kesal menatap bulan sabit. Sinarnya samar-samar, tertutupi awan kelabu. Menyebalkannya, selagi menikmati pemandangan langit, kepalaku malah membayangkan gambaran yang mengada-ada, seperti, bagaimana bentuk wajahnya kalau ia balik tersenyum waktu itu dan bibirnya membentuk lengkungan mirip bulan sabit di atas sana?
Astaga, Ragita.
Masih sempat-sempatnya?
"Argh!"
Aku kini tahu, ujaran ibu yang selalu mengajariku untuk menjaga sopan santun dan bersikap ramah pada siapa pun terkadang tidak akan berbuah manis seperti seharusnya.
— — —
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]