"Temen lo mana?"
"Barusan pergi, tapi nanti balik lagi, kok."
"Gue temenin, ya? Sampe temen lo balik."
"Eh? Nggak usah, Kak--"
"Nggak papa."
"Kak, tapi--"
Kata-kataku berhenti di tenggorokan ketika kedua matanya mengarah pada dua mataku. Dengan cahaya sekitar yang seadanya, kedua maniknya tampak lebih berkilau dibanding yang lain.
"--ma-maksud gue, lo jadi kepisah sama temen-temen lo."
"Gue 'kan bisa nyusul," ia menyahut.
"Tapi, ini 'kan udah rame ...." Bakal susah untuk mencari dalam lautan orang, bukan?
"Ragita."
"Iya?"
"Lagunya lagi bagus, nih."
Aku terbungkam.
Di antara padatnya orang di sekitar, aku tidak pernah berpikir akan menemukan seorang Gadang Tirtayasa di antaranya. Aku memang sempat mencari keberadaannya ketika masuk tadi, tapi rasanya bodoh untuk berharap lebih. Jadi, aku benar-benar mengusirnya dari kepala dan memilih memfokuskan diri pada acara. Kemudian, ia datang. Tiba-tiba saja. Membuat debar jantungku yang tadinya mengikuti ritme dentuman pengeras suara menjadi sedikit lebih cepat. Dan, mana mungkin dengan keberadaannya di sampingku tidak akan membuat perhatianku terpecah belah? Padahal ia tampak tidak terganggu. Tentu saja. Siapa yang menyukai siapa, ya kan?
Waktu berlalu, tapi Audri tidak juga kembali. Aku jadi gelisah. Mengecek ponsel, aku mengiriminya sebuah pesan.
Tapi balasannya justru membuatku melotot.
Gue lihat lo udah punya temen, tuh. Cie. Gue tinggal gapapa, ya? Bye, Gita!
Aku segera memborbardirnya dengan perintah untuk kembali, tapi tidak ada respons. Sempurna. Audri bukan temanku lagi. Titik.
Aku menggigit bibir. Melirik ke samping lewat ekor mata. Mengirup-lepas napas beberapa kali, aku meneguhkan hati.
"Kak, kalau lo mau pergi sekarang nggak papa, kok." Nice, Gita!
Kak Gadang terlihat seperti mencari-cari sesuatu di sekitarku. "Temen lo?"
"Ngg..."
"Gue udah bilang 'kan, tunggu sampe dia balik?"
"Tapi--"
Sebelah tangannya terangkat. Aku mengempit bibir. Bahuku turun.
Aku masih memikirkan cara untuk 'mengusir' Kak Gadang ketika lengannya tiba-tiba melingkari pundakku dan menarikku mendekat. Di saat yang sama, kupikir jantungku berhenti berdetak.
— — —
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]