Di tengah-tengah mengisi lembar kerja siswa, aku mendapati diri mengingat-ingat bagaimana aku dan Kak Gadang bersua lagi di waktu yang tidak pernah kuduga. Seperti, caranya tersenyum, melafalkan namaku, menyapaku, menyalamiku. Semuanya masih terasa segar kendati sudah berhari-hari berlalu.
Masa ... aku menyukainya? Hanya karena ia menjadi pahlawan dengan menawariku tumpangan? Atau karena kehangatan yang berpendar ketika ia berada dalam jarak pandang? Aku bahkan belum mengenalnya banyak.
Setelah berpikir, iya, ini barangkali hanya kekaguman semata. Dan seharusnya tidak ada yang salah dengan hal itu, bukan? Ini terasa lucu. Beberapa hari yang lalu aku kesal karena senyumku tak terbalas, namun setelah dihadiahi lengkung bulan sabit secara berturut-turut, hilang sudah semua kedongkolan.
Aku meraih ponsel. Membuka sebuah aplikasi. Lalu mendesah kecewa. Profilnya tidak diberi foto. Membaca nama terang di bawahnya, aku segera berpindah aplikasi.
Pertama, kucoba mengetikkan nama depannya. Muncul beberapa akun di kolom saran hingga kutemukan yang cocok dengan nama panjangnya.
Gadang Tirtayasa.
Akunnya tidak diprivasi, jadi aku bebas mengecek satu-satu postingannya. Kebanyakan foto adalah tempat-tempat yang ia kunjungi. Mulai dari gunung Bromo, perkebunan teh, taman bunga matahari, hingga kafe-kafe yang dibidik seapik mungkin. Ada beberapa video singkat rekaman perjalanan—hampir kuulang-ulang karena memang semenarik itu. Ada dokumentasi tur studi ke Bali sewaktu kelas sebelas, bahkan sewaktu ke Yogyakarta menonton pertunjukan Ramayana di kelas sepuluh.
Lama menimbang, kutekan tombol follow dan menutup aplikasi tersebut.
Ini ... wajar, kan?
— — —
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]