Hangat. Kokoh, tapi halus. Genggamannya menyalurkan sebuah arus yang menggetarkan jantungku sampai aku khawatir ia dapat mendengarnya. Momen itu terasa singkat, ia melepas tautan tangan kami begitu sampai di pelataran parkir. Ada hening yang canggung sebelum Kak Gadang berkata, "Maaf udah narik lo sembarangan, tapi lo kayak nggak nyaman di depan mereka tadi. Semoga gue nggak salah lihat."
Entah aku harus berapa kali berterima kasih padanya.
"Oke, gini," katanya lagi. "Gue antar lo pulang, gimana? Gue yakin lo nggak mau lebih lama ada di sini, yah, kecuali lo memang masih mau--"
Aku langsung menggeleng kuat.
"Oke, bentar, gue cari pinjaman helm dulu."
Kak Gadang kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Sementara aku masih gelagapan dalam diam; aku bahkan belum mengiakan tawarannya. Bagaimana mungkin aku merepotkannya lebih jauh?
Begitu ia memutus sambungan telepon, aku buru-buru menyela. "Kak, tapi gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Gue bisa pulang sendiri, kok."
Sebelah alisnya terangkat. "Yakin?"
Tanganku memegang erat tali tas. Sebenarnya, tidak.
Diamku menjawab pertanyaannya, hingga kami pun berakhir di jalanan yang tak kenal sepi meski malam telah melingkupi. Di atas motornya, berhadapan dengan punggungnya; memang bukan yang pertama kali, tapi kali ini terasa lebih nyaman. Aku baru sadar, aku selalu berakhir di tempat ini dengan ia yang menjelma sebagai pahlawan.
Gadang Tirtayasa telah menjadi pahlawan Ragita Tunggadewi, untuk kedua kalinya.
Bodohnya, setelah rangkaian peristiwa malam ini, aku belum menyebutkan apa pun untuk menghargai pertolongannya: terima kasih. Jadi, ketika aku turun dari motor dan mengembalikan helm padanya, aku tidak langsung berbalik masuk. Aku justru menghitung detik sambil menyusun kata.
Ia menyadari tingkahku. "Git? Nggak masuk?"
"Eh...."
"Masuk sana, ntar lo masuk angin. Gue balik dulu, ya."
"Eh, Kak." Aku buru-buru menahan tangannya yang hendak memegang stang. Rautnya bertanya. Aku menelan ludah. "Uhm ... gue ...." Aku memejamkan mata sekali sebelum kembali menatap lurus kedua manik matanya. "Makasih banyak, buat semuanya," kataku tulus.
Ia tersenyum. "Sama-sama."
Aku pun melengkungkan bibir.
Satu detik, dua detik.
Aku baru sadar tanganku masih menyentuh lengannya. "Ah," seruku terkejut akan kebodohan sendiri. Fokus, Gita! "Ma-maaf, Kak."
"Santai," ujarnya dengan senyum mengembamg. "See you, Ragita."
Lelaki itu pun pergi. Mengecil, mengecil, hingga hilang dari pandangan. Ia tidak pernah tahu bahwa masih ada yang tertinggal, yaitu kehangatan genggamannya pada telapak tanganku.
— — —
notes:
besok nggak update dulu ya sampe jumat. so, see you in saturday!
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]