sembilan belas // tangis

1.6K 390 52
                                    

Tarikan itu hampir seperti sentakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tarikan itu hampir seperti sentakan. Aku baru ingin bertanya soal perilakunya tersebut tapi napasku lantas tertahan begitu mendengar suara berat Kak Gadang yang tidak seperti biasanya.

"Mau ngapain lo?" Ada rasa marah yang kentara dalam nada suaranya. Lengannya masih kokoh melingkari pundakku dan aku berusaha mengintip ke arah suaranya ditujukan. "Lo jangan macem-macem. Di sini banyak yang bakal gebukin lo kalau gue kasih tahu semuanya lo sampah kayak apa."

Aku masih berusaha mencerna keadaan ketika percakapan antara Kak Gadang dan seorang lelaki yang sama sekali asing itu terjalin. Ada apa? Kenapa Kak Gadang sampai semarah itu padahal sedari tadi ia damai-damai saja?

"Nggak usah lebay gitu, Bos." Lelaki asing itu menyahuti dengan nada yang tidak kusuka, seperti meremehkan dan memaksakan canda.

Kak Gadang tampak tak terhibur. Vokalnya makin meninggi. "Lebay? Lo barusan mau melecehkan cewek gue dan lo nyuruh gue nggak usah lebay? Otak lo di mana, tolol."

Tubuhku membeku.

Perkataan Kak Gadang barusan menggaung di telingaku yang perlahan pengang. Seluruh suara yang memasuki indera pendengaranku menjadi tumpang-tindih dan mengabur. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi susunan puzzle yang kutata merujuk pada satu konklusi yang buruk dan aku terlalu takut untuk membenarkannya.

Sempat terjadi rusuh, tetapi aku terlalu terpaku di tempat; masih diselubungi kekhawatiran.

"Git?"

Aku masih menatap kosong tanah di bawah.

Nada suara Kak Gadang kini melembut. "Ragita? Lo nggak papa? Ragita? Hei?"

Melihat reaksiku yang nihil, Kak Gadang menggiringku keluar dari hiruk-pikuk. Langkahku terasa berat dan berantakan. Kami pun berhenti di suatu tempat dan ia menyuruhku duduk. Saat ia hendak menjauh entah ke mana, tanganku spontan meraih ujung lengan kemejanya. Yang kutahu saat itu adalah aku tidak mau sendirian. Tidak di antara kerumunan orang di sekitar. Tidak setelah apa yang terjadi.

Kak Gadang berjongkok di hadapanku dan mencari pandanganku dengan tatapannya. Ia menyentuh lenganku kuat, tapi lembut di saat yang bersamaan seolah berusaha menguatkan dan menenangkan. "Gita, nggak papa. Lo udah aman. Percaya sama gue, oke?"

Mendengar kalimat penenang itu, desakan kencang di dalam dadaku pecah berkeping-keping. Pun, tangisku turut membuyar.

— — —

notes:

:(

crescent.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang