Aku masih tersedu dan Kak Gadang tidak beranjak dari hadapanku, entah sudah berapa lama. Perasaanku masih campur aduk; ada rasa takut, marah, tapi juga lega. Otakku malah membayangkan kemungkinan apa yang akan terjadi apabila sebelumnya aku benar-benar sendirian di antara orang-orang yang sebenarnya tidak kukenal, berikut aku tidak tahu mereka memang orang baik atau justru sebaliknya. Dengan keadaanku yang lengah seperti itu, apa jadinya kalau Kak Gadang tidak hadir untuk mencegah hal buruk itu menyentuhku?
Tangisku perlahan mereda, tapi napasku masih memburu.
Pandangan kami kemudian bertemu.
Aku mengedip beberapa kali, mengusir sisa air mata.
Bagaimana mungkin lelaki itu betah dalam posisi yang kutahu terasa melelahkan?
"Kak," aku melihat sekeliling dan beberapa orang masih sesekali memperhatikan kami, "jangan di situ terus, nggak enak dilihatnya," kataku susah payah dengan suara serak.
Senyum sabitnya terbentuk. Ia kemudian berdiri dan duduk di sebelahku.
Aku mengelap mata yang basah dengan punggung tangan.
"Maaf, Git."
Gerakanku terhenti.
"Maaf karena gue nggak kasih tahu lo terlebih dahulu biar lo nggak kaget kayak gini. Ah, nggak, salah gue karena gue nggak langsung bawa lo jauh-jauh dari tempat itu biar semuanya nggak perlu terjadi sampai bikin lo jadi kayak gini."
Tangis yang tadinya sudah hilang kembali mengimpitku kembali. Maksudku, kenapa jadi dirinya yang meminta maaf seperti itu? Dan di saat-saat begini, mulutku justru kaku. Kak Gadang menepuk-nepuk pundakku, sementara aku sibuk menghapus air mata yang kembali mengalir.
"Loh, Gita?"
Seolah dunia tidak puas meletakkanku dalam sebuah ketidakberdayaan, kini aku harus menghadapi dua orang yang pasti bertanya-tanya melihat keadaanku yang berantakan. Sosok Ratna dan Yudha tiba-tiba muncul dan wajah mereka langsung berubah begitu melihat aku dan Kak Gadang.
"Bang, Gita kok bisa nangis kayak gini? Lo apain?" Yudha mendekat ke arahku. "Git, lo kenapa? Lo sakit? Siapa yang nyakitin lo?"
Ratna yang membaca situasi lantas menarik Yudha menjauh. "Heh, jangan suudzon gitu kenapa, sih? Orang lagi nangis jangan dicerewetin, yang ada dia malah tambah nangis gara-gara lo."
"Apaan, sih, lo nggak lihat--"
"Gue nggak papa." Aku memotong kalimat Yudha. "Lo berdua nggak usah khawatir. Bukan hal yang serius, kok."
"Lo yakin?" Yudha sangsi. Aku mengangguk. "Terus, kok lo bisa sama Bang Gadang?"
"Tadi--"
"Gue memang janjian nonton sama Gita," kata Kak Gadang untuk pertama kalinya setelah Ratna dan Yudha datang. Kalimatnya tidak hanya membuat mereka berdua terkejut, tapi aku juga nyaris tersedak. Lelaki itu kemudian berdiri. "Maaf, ya, tapi gue sama Gita duluan."
Aku mengamati bagaimana Kak Gadang menyebabkan raut tak terbaca muncul di wajah kedua temanku dan bagaimana tangannya mendekat meraih tanganku yang berada di pangkuan. Ia menarikku dan kami berlalu meninggalkan Ratna dan Yudha di belakang.
Semuanya begitu mendadak. Dan aku tidak bisa melepaskan pandangan dari tangan kami yang bertautan.
- - -
notes:
hng, gatau mau ngomong apa. tapi makasyi buat yang setia ngikutin mereka!!! ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]