Rasanya mau mati. Ketika timbul rasa gatal mencakar kerongkongan dan ada dorongan yang menggedor-gedor dari dalam minta dikeluarkan, aku harus menahannya berkali-kali. Konsentrasiku mulai pudar. Aku sudah meloloskan beberapa batuk dan sampai sekarang rasa bersalahku bertumpuk makin tinggi. Persediaan air hangat di botolku sudah habis; aku menyesali keteledoran menumpahkan isinya sebelum ini.
Aku menepuk dada dengan kepalan tangan, sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.
Batuk, bisakah kamu bekerja sama denganku saat ini saja? Satu minggu ini saja. Tolong.
"Ragita." Mendengar namaku disebut dalam bisikan, aku mengalihkan pandanganku dari soal-soal.
Di samping, dari banjar yang berbeda, Kak Gadang menyorongkan sebuah botol minum kepadaku. Alisku mengerut.
"Ambil aja," katanya.
Penuh keraguan, tanganku mengambil botol minum itu. Sementara Kak Gadang membagikan senyum tipis sebelum kembali bergelut dengan soal di hadapannya. Aku memandangi botol minum di tanganku beberapa jenak, masih belum paham apa yang terjadi.
.
.
"Kak," aku memanggil Kak Gadang sebelum dirinya berlalu dari kelas. Ia berbalik. Aku mengulurkan botol minum miliknya yang sudah hampir habis isinya, tingginya hanya tersisa beberapa senti saja apabila diukur. "Makasih banyak. Maaf, ya, gue abisin."
Ia melepas sebuah dengusan. "Lo UTS bukannya jaga kesehatan," omelnya yang tidak terdengar seperti omelan seraya mengambil botol dariku. "Sama-sama. Lo minum obat kan, tapi?"
Aku mengangguk.
"Bagus, deh. Jangan kayak adek gue, kalau sakit nggak mau minum obat. Alasannya, ntar lama-lama juga sembuh." Ia mengambil jeda beberapa detik. "Kalau gitu gue balik duluan, ya? Get well soon, Ragita."
Kak Gadang membalikkan badan.
Entah dorongan dari mana, aku memanggilnya kembali.
"Kak."
Usai mengeluarkan kata itu, aku menyesal setengah mati. Kepalaku mencari-cari dalang dari kebodohan yang baru saja kulakukan. Nah, lihat, Kak Gadang sudah telanjur menghadapku lagi dan kini ia melempariku sebentuk raut 'ada apa?'.
"Eh...," pikirkan sesuatu! "panggilnya Gita aja, Kak. Ragita kepanjangan."
Yang benar saja, Gita? Cuma itu?
Barisan giginya yang rapi terlihat. "Oke," katanya sarat nada geli. "Bye, Gita."
Lo ngapain sih, Git?
ㅡ ㅡ ㅡ
notes:
Aku buat works baru lagi kemarin, judulnya collide. Hehehe beneran murni impulsif. Yuk cek yuk.
Btw, menurut kalian crescent tuh gimana? Bosenin ga? Slowpaced banget ga? Yuk keluarin pendapatnya yuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]