Kejadian memalukan itu masih menjadi topik sensitif di kepala, yang mana kalau memori itu hadir, aku tidak tahan untuk memukul kepala, mendengus berlebihan, atau malah berteriak kalau sedang berada di kamar. Yang pasti, ingatan itu mulai berkurang intensitasnya karena ulah Kak Gadang yang lain begitu menyita perhatianku.
Setelah peristiwa itu, keseharianku di sekolah berjalan normal. Namun di suatu waktu, aku ingat sekali tengah berjalan menuju masjid sekolah bersama Audri. Dari kejauhan, radarku sudah mendeteksi Kak Gadang yang berjalan dari berlawanan arah.
Panik lantas menyergap.
"Od, lewat sana aja, yuk," ajakku pada Audri. Saat itu kami melewati jalanan berumput, bukan setapak yang lebih membutuhkan waktu lama untuk sampai.
"Nggak, ah. Lo nggak tahu gue lagi buru-buru? Belum selesai nih pe-er indo gue."
"Cepet, kok, cepet."
"Ya udah, sana, lo aja."
Aku mengirup napas dalam-dalam.
Seiring jarakku dan Kak Gadang terkikis, dentuman jantungku makin cepat. Haruskah aku pura-pura tidak lihat?
Tapi, terlambat. Kami sudah telanjur menatap satu sama lain dan aku pun masih beku. Tidak tahu harus apa. Sementara Kak Gadang, dengan gaya kasualnya dan tanpa beban, menyapaku tanpa suara. Lewat gerakan bibirnya, ia mengucap, "Halo." Alisnya yang terangkat rendah membuat wajahnya tampak menyenangkan. Oh, jangan lupakan senyum sabitnya. Astaga.
"Git, Git." Audri menepuk lenganku ketika kami sudah berjauhan. "Lo kenal dia?"
Aku masih menekan gejolak yang diakibatkan oleh seorang Gadang Tirtayasa.
"Anjir, diem aja. Disimpen sendiri, ya, sekarang. Hm, paham gue."
"Apaan, sih."
"Siapa tuh tadi? Nyapa lo kan dia? Nggak mungkin gue soalnya gue nggak kenal."
"Iya kayaknya."
"Hah?"
"Aduh, bentar, gue duduk dulu. Lo wudu duluan sana!"
ㅡ ㅡ ㅡ
notes:
harusnya update besok tapi rasanya mau update terus!!!seneng ga kalian!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]