"Git, lo sakit?" Audri menyentuh pundakku lembut.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Namun setelah beberapa detik, aku menggeleng. "Batuk doang, sih." Aku menoleh padanya dengan raut sedih. "Gimana, nih? Nggak enak banget kalau gue batuk-batuk di kelas. Lagi ujian gini."
Audri memasang wajah bersimpati. "Ya mau gimana lagi? Lo udah minum obat?"
Aku mengangguk. "Semoga mempan, deh."
"Cepet sembuh, Git." Audri memelukku singkat dan menepuk-nepuk punggungku. Aku mengucapkan terima kasih pendek. Merasakan kerongkongan yang mulai gatal, aku meraih botol minum dan meminumnya. "Eh, Git, itu bukannya kakel yang nyapa lo kemarin-kemarin?"
Aku tersedak. Tumpahan air membasahi buku serta rokku.
"Astaga, banjir dah banjir," ujar Audri berlebihan.
Aku segera membersihkan kekacauan yang kubuat. Entah mengapa, pikiranku langsung mengarah pada seseorang ketika Audri menanyakan sesuatu yang menyebabkan aku tiba-tiba kesulitan menelan. Dan benar saja, aku melihat Kak Gadang sudah dekat dengan tempatku duduk—ia berdiri di tempat kosong yang tak jauh dariku. Sebuah gagasan mulai menyesaki pikiranku. Tidak mungkin....
"Eh, Od, lo punya daftar nama kelas ujian kita, kan? Lihat, dong."
Audri menyerahkan ponselnya. Aku buru-buru menerimanya. Mencari sesuatu. Benakku merapal doa.
Gadang Tirtayasa.
Aku menemukannya.
Setelah itu, jantungku terus berulah bahkan sampai aku mendudukkan diri di kursi ujian.
ㅡ ㅡ ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]