Sepertinya, aku sudah terlalu jauh.
Aku membiarkan rasa kagum yang kupunya berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Sedari awal, seharusnya aku menahan diri untuk tidak terlalu terlibat terlalu jauh dengannya. Semestinya aku tidak membiarkannya mencampuri kehidupanku sebanyak itu sehingga sekarang aku malah menginginkan yang lebih. Kebaikan-kebaikan itu nyatanya menjelma menjadi sebuah adiksi.
Ragita, kamu harus memutuskannya sekarang. Berhenti atau terus berjalan hingga hatimu patah.
Puncak malam Elysian sudah di depan mata. Aku sudah bersiap di belakang, jauh dari keramaian, di suatu tempat di mana aku bisa merekam kembang api yang akan disulutkan sebentar lagi. Para penonton sama-sama berseru, menghitung mundur sesuai yang diintruksikan oleh MC. Aku mengikuti dalam hati sambil menyiapkan kamera.
Tiga.
Dua.
Satu.
Kembang api bermekaran di langit. Mereka tampak kecil di layar kamera.
"Percaya atau nggak, dulu gue juga merekam kembang api di sini."
Suara yang tiba-tiba datang itu membuatku mau tak mau mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa kali aku dikagetkan oleh dirinya hari ini. Bagaimana ia bisa ada di sini? Menyudahi kegiatanku, aku pun menurunkan kamera.
"Kak ... Gadang? Kok bisa ada di sini?"
Ia duduk di batu besar; di sebelahku. "Gue kangen," katanya. Aku membelalak. Memikirkan kemungkinan salah dengar. Debar dadaku meledak-ledak seperti halnya kembang api di atas sana. Ia menoleh padaku. "Kangen masa-masa di mana gue melakukan hal yang sekarang lo lakukan."
Hatiku mencelos. Oh, tentu saja.
Apa yang kamu harapkan, Ragita?
Aku memilih bungkam.
"Sebenarnya barusan gue nyariin lo."
Aku memandangnya lagi dan menemukan iris gelapnya yang memantulkan cahaya lampu sekitar.
"Gue khawatir," ujarnya seolah menjawab pertanyaan yang belum kulontarkan. "Tapi, lo tampak baik-baik aja di sini. Gue lega."
"Tadi gue udah bilang gue nggak papa."
Kak Gadang mengangkat bahu.
"Maaf," aku menghela napas, "karena gue membuat lo khawatir dan bikin momen Elysian terakhir lo jadi berantakan."
"Hm? Maksud lo?"
"Seharusnya lo 'kan menghabiskan momen ini sama orang-orang yang spesial juga, tapi gara-gara gue lo malah berakhir di sini." Ingatanku tertuju pada perempuan yang menemaninya tadi. Aku tidak tahu hubungan mereka apa, tapi yang pasti kalau dilihat dari kedekatannya, mereka menganggap satu sama lain spesial, ya kan?
Lelaki itu membiarkan beberapa jemang diisi hening, sebelum berkata, "Lo spesial, kok, Git."
"Eh?"
Telingaku baik-baik saja, kan?
"Menurut gue, semua orang itu spesial, termasuk lo. Jadi, gue nggak masalah menghabiskan waktu sama siapa aja selama dia bukan orang asing."
Mataku terpejam. Mengutuk diri. Bisa tidak, sih, lelaki ini kalau bicara jangan setengah-setengah?
— — —
notes:
double update because why not hehe. aku mau tanya dong, menurut kalian, mereka bakal berakhir bersama nggak? ayo jawab!!! biar aku semangat nulis terus bisa update sering2!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]