dua puluh lima // keputusan

1.4K 371 15
                                    

Elysian kian ramai seiring dengan merangkaknya hari menuju malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Elysian kian ramai seiring dengan merangkaknya hari menuju malam. Kerlap-kerlip lampu yang menggantung menambah kesan manis pemandangan. Aku harus menepuktangani tim dekorasi karena kerja keras yang mereka curahkan benar-benar tidak mengecewakan. Rasanya aku ingin mengelilingi tiap sudut untuk mengabadikan tiap momen. Namun, dengan keadaan kakiku, juga kameraku yang tidak mungkin terpakai, apa yang bisa kulakukan?

"Yud," aku memanggil Yudha di samping. Aku berakhir menemaninya merekam di spot yang sudah kami tentukan kemarin. "Itu, kamera lo yang nganggur boleh gue pake?" tanyaku hati-hati.

"Lo mau ngapain emang?"

"Mau keliling. Boleh, ya?"

Ia mengerutkan kening, kemudian mengarahkan pandangan ke kakiku.

Aku segera mengelak. "Kaki gue udah baik-baik aja. Beneran."

"Tapi—"

"Please? Gue gabut banget."

Yudha terdiam. Tampak berpikir. Aku sampai menyatukan telapak tanganku dan memohon. "Ya udah, iya. Tapi lo jangan jauh-jauh jalannya. Hape lo aktif, kan? Jangan di-silent, oke?"

Begitu menerima kamera di tangan, aku menyengir lebar. Aku berdiri siap pergi, tapi Yudha mencegatku lebih dulu. "Hati-hati, oke?" katanya. Aku mengangguk.

Aku berusaha menekan rasa sakit supaya langkahku terlihat normal. Aku tidak mau Yudha berubah pikiran saat melihat cara berjalanku. Ketika kurasa posisiku sudah aman dari jangkauan Yudha, aku berhenti sejenak. Aku memijat-mijat pelan sekitar lututku, dalam hati merengek supaya ia tidak menimbulkan nyeri untuk malam ini saja. Selanjutnya, aku mulai berkelana. Menyelip di antara kerumunan, menekan shutter, merekam momen-momen.

Keasyikan memainkan kamera, punggungku bertubrukan dengan sesuatu ketika aku mengambil langkah mundur untuk mendapatkan sudut yang pas. Refleks, aku membalikkan badan sembari mengucapkan kata maaf. Suaraku mengawang dan mataku melebar saat aku melihat apa yang menyambutku.

"Gita? Ngapain lo di sini?"

.

.

.

Perempuan itu ada di sebelahnya.

Setelah mengucap maaf sekali lagi, aku hendak undur diri. Tapi ia berkata, "Tunggu." Kemudian beralih pada perempuan di sisinya. "Lo duluan aja. Ntar gue nyusul."

Aku sempat bertukar tatap dengan si perempuan sebelum dirinya meninggalkan aku dan Kak Gadang berdua.

"Kok, lo di sini? Bukannya lo sakit?"

Bagaimana ia bisa tahu, padahal aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya sedikitpun kemarin?

"Sakit ... apa?"

"Kata Bagas kemarin lo jatuh?"

Oh, tentu saja. Kak Bagas.

"Udah mendingan, kok. Mm, kalau gitu, gue pergi dulu, ya, Kak."

"Eh, Git."

Pandanganku turun pada genggamannya di pergelanganku. Kemudian aku menatapnya.

"Lo udah nggak papa ... sendirian?"

Awalnya aku tidak paham apa maksud pertanyaannya, tapi kenangan buruk itu kemudian menyapaku di salah satu ruang kepala. "Nggak papa," jawabku. Aku menarik tanganku dari lingkaran jemarinya, kemudian berjalan menjauh.

Melalui pertemuan singkat barusan, sepertinya aku harus memutuskan sesuatu. Sebab tatapan perempuan tadi membuatku mengerti bahwa aku harus tahu diri dalam menempatkan diriku di sekitar Kak Gadang. Termasuk perasaanku.

— — —

crescent.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang