Aku harus menelan kekecewaan bulat-bulat. Satu kakiku menjadi penghalang bagiku untuk mengikuti rangkaian acara Elysian yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari. Kameraku tidak bisa digunakan. Langkahku payah. Suasana hatiku tidak kunjung membaik. Esok hari setelah kakiku cedera, aku bersikeras datang ke sekolah meski sebelumnya Kak Bagas membebaskanku untuk istirahat di rumah. Tapi rasanya aku tidak mau ketinggalan apa pun. Ini adalah Elysian pertamaku.
Ratna mengomel saat aku mengabarinya sedang berada dalam perjalanan menuju sekolah; ia menungguku di gerbang dan membantuku berjalan ke dalam.
"Lo duduk di sini aja, oke? Nggak usah ke mana-mana, apalagi yang aneh-aneh. Udah tahu nggak bisa jalan, kenapa iseng banget sih tetep dateng?"
Aku mendecak. "Gue masih bisa jalan, Rat."
"Hm, iya. Siput aja pasti menang kalau lawan lo."
"Nggak separah itu, kali, jangan lebay deh lo."
"Anyway," katanya. "Gue nggak bisa nemenin lo. Hectic banget parah. Lo sendirian dulu, ya?"
Aku mengangguk. Ratna pun tergesa undur diri. Menit-menit selanjutnya kuhabiskan memperhatikan orang berlalu-lalang dengan raut wajah yang menyiratkan hal sama: tegang. Mereka sibuk mempersiapkan segalanya, memastikan apa pun berjalan sesuai rencana, mengingat hari ini adalah hari H. Dan aku di sini: membiarkan waktu bergulir tanpa melakukan apa-apa. Benar-benar membosankan. Aku mengamati sekitar, kemudian memutuskan bangkit. Tertatih, aku berjalan tak tahu arah. Setelah berpikir-pikir, aku berakhir pada pilihan mencari Ratna atau anggota kelompokku yang lain. Mengemis kerjaan adalah hal yang akan kulakukan ketika bertemu dengan mereka karena aku tidak mau duduk manis sementara sekitarku sibuk.
Di tengah perjalanan, aku menemukannya. Gadang Tirtayasa.
Oh, sungguh, kenapa ia selalu muncul di saat aku tidak memikirkannya? Tak kupungkiri ada rasa senang yang membuncah karena akhirnya retinaku menangkap sosoknya setelah sekian lama. Namun rasa itu lantas surut begitu pandanganku bergeser. Ia tidak sendiri. Ada setidaknya lima orang, berikut dirinya, yang tengah terlibat perbincangan seru. Dua di antaranya adalah perempuan dan di sebelah Kak Gadang, ada satu yang membuatku memperhatikan mereka lebih lama. Keduanya tampak dekat dan akrab. Bahkan, perempuan itu melingkarkan lengannya pada lengan Kak Gadang tanpa beban. Seolah ia sudah biasa melakukannya.
Tak mau lebih lama mengamati mereka, aku menyeret kakiku pergi. Rasa nyeri muncul dan aku mau mempercayai bahwa lututkulah asalnya, bukan bagian yang lain.
Tapi, pemandangan barusan ... bolehkah kubilang kalau aku tidak suka melihatnya?
— — —
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]