"Hati-hati, kalian! Met liburan!"
"Bye!"
"See you semester depan!"
"Met taon baruuu!"
"Belum, anjir."
"Hahaha, santuy kali, ah."
"Git."
Sebuah helm tersodor ke depan wajahku begitu aku menoleh. Kemudian, rupa yang sudah kuhafal itu muncul di baliknya. Gadang Tirtayasa.
"Udah pesen ojol?" tanyanya. Aku memandang layar ponselku sekilas. "Bareng gue aja, gimana? Ada helm juga, nih."
Batinku berperang. Bukankah kamu ingin menyudahi ini semua, Ragita?
"Eh, nggak usah, Kak."
"Santai aja, rumah gue kan searah sama rumah lo."
... namun sebelum semuanya berakhir, bolehkah aku membiarkan ia mencampuri kehidupanku untuk terakhir kali?
"Beneran nggak papa?" aku pelan bertanya.
"Yuk."
Ini akan menjadi kali ketiga dan yang terakhir, setelah itu aku akan benar-benar berusaha menguburnya jauh-jauh. Semester depan pun akan mendukungku dengan padatnya kegiatan kelas 12 dan kemungkinan kecil aku dapat bertemu dengannya. Pun di klub. Kendati masih ada bimbel, tapi aku masih bisa mengurusnya. Mengurung diri di kelas adalah pilihan tepat.
Kini: berhadapan dengan punggungnya, duduk di atas motornya, melebur bersama hiruk-pikuk jalanan malam yang temaram. Tidak ada percakapan; hanya aku yang menikmati lanskap kota di malam hari dan ia yang fokus menyetir di depan.
Hingga tanpa peringatan, ia meminggirkan motor dan turun, meninggalkan tanya besar dalam kepalaku.
"Kenapa, Kak?" Alisku bertaut.
Yang kusaksikan sekarang: Kak Gadang melepas jaket yang ia pakai dan menyerahkannya padaku. "Maaf, gue lupa ngasih ini."
"Ini ... apa?"
"Jaket."
"Bukan, maksud gue--"
"Lo pake ini. Udaranya dingin, nanti lo masuk angin."
"Gue nggak kedinginan, kok. Lo aja yang pake, Kak."
Kak Gadang menghela napas. Ia hendak menyampirkan jaketnya padaku, tapi aku buru-buru menahannya.
"Kak. Beneran, nggak usah. Nanti malah lo-nya yang sakit, 'kan lo yang kelas 12."
Ia terpaku. Kemudian, tertawa. "Terus, kalau lo yang kelas 10 ini boleh sakit, gitu? Teori dari mana, tuh?"
Kak Gadang kembali bergerak hendak memakaikan jaketnya padaku dan lagi-lagi, aku mencegahnya. Kali ini, tidak hanya dirinya, tapi diriku pun terkejut dengan perkataanku sendiri. "Kak, gue nggak butuh. Lo keras kepala banget sih, gue nggak mau rasa suka gue ke lo...." Suaraku kemudian menipis dan melayang bersama angin begitu aku menyadari kalimatku.
Dadaku berdentum kencang.
Ia sama bekunya denganku.
Tidak. Ini bukan akhir yang kuinginkan. Bodoh, kenapa mulutku tidak bisa diatur di saat-saat yang tidak tepat?
Belum berani menatapnya, aku mendorong diri untuk memecah kecanggungan. Berderham sekali. "K-kak, maksud gue...."
"Lo yang pake."
Gerakannya tegas. Jaketnya pun tersampir menutupi kedua bahuku. Tanpa bicara, ia naik lagi ke atas motor, lalu menjalankannya seolah tidak terjadi apa-apa. Selama perjalanan, aku digerogoti rasa cemas. Tanganku berkeringat, bibirku sampai sakit lantaran kugigiti.
Tiba di depan rumahku, Kak Gadang masih bisu. Aku perlahan turun dari motor. Melepas helm dan jaket. Menyerahkannya kembali kepada si pemilik. Ia menerima dalam geming.
Apakah Kak Gadang marah? Seburuk itukah eksistensi perasaanku padanya?
"Kak," aku memanggilnya. Entah tali tasku sudah seburuk apa bentuknya. "M-maaf kalau ... kalau apa yang gue bilang tadi mengganggu lo. G-gue juga sadar kok nggak seharusnya gue menyimpan perasaan ini ke lo. Lo nggak perlu mikirin hal ini, biar gue yang urus sendiri. Dan ... sekali lagi, makasih banyak ntuk segala kebaikan lo selama ini, gue...."
"Ragita."
"... maaf, Kak." Aku menunduk sedalam-dalamnya.
"Lo nggak perlu nyalahin diri lo sendiri. Gue ... nggak suka." Kudengar embusan napasnya. "Ya udah, lo masuk, gih. Gue pulang dulu. See you."
— — —
notes:
SUDA SIAPKAH KALIAN BERPISAH DENGAN GITA GADANG KARENA AKU BELUM. Iya, bentar lagi tamat. Siapkan hati, ya ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]