tiga puluh satu // momen

2K 403 107
                                    

Kalau detik ini mesin waktu sudah ditemukan, aku tidak bercanda kalau aku ingin membalikkan waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau detik ini mesin waktu sudah ditemukan, aku tidak bercanda kalau aku ingin membalikkan waktu. Segalanya kini masih abu-abu, tapi aku sebenarnya takut; takut menerima kenyataan bahwa Kak Gadang tidak begitu senang dengan pernyataan-tidak-sengajaku dan diriku sendirilah yang memburamkan pandangan dari itu semua. Ia tidak menyinggungnya sama sekali. Satu kalimat terakhirnya tadi tidak menjawab deretan pertanyaan dalam kepalaku.

Aku mengempaskan tubuhku ke kasur tanpa merasakan apa-apa. Peristiwa barusan seperti mengambil sesuatu yang tadinya memenuhi dadaku. Ada kekosongan yang membuatku merasa ngeri.

Apakah ... semuanya sudah usai?

Apakah ... kami akan menjadi asing satu sama lain ketika berpapasan nanti?

Kuhela napas dalam-dalam. Mataku memejam lama, sebelum aku bangkit dalam satu sentakan dan saat itu juga ponselku bergetar. Dengan malas, aku menarik benda itu dari dalam tas. Persis ketika mataku menangkap sebaris nama di layar, seperti ada yang jatuh dari rongga dadaku.

"Ha-halo?"

Hening.

"Halo?"

Oh, mungkinkah tidak sengaja?

"Halo--"

"Ragita," suara dari seberang terdengar. Napasku terjeda sehela. Kemudian, "Gue di depan rumah lo. Bisa ... keluar sebentar?"

Sejurus, aku menumpu pada tungkaiku dan berlari keluar kamar. Aku merasa ini tidak masuk akal, tapi aku ingin memastikan. Kalaupun aku hanya mengkhayal bodoh, aku tidak keberatan karena toh semuanya telah berakhir. Tapi....

Ia ada di sana.

Untuk apa?

Langkahku tidak mantap ketika aku mendekatinya; berharap dalam hati supaya aku tidak tersandung atau apa karena akan terlihat sangat bodoh di hadapannya.

"Kak ... Gadang?" aku memulai.

Kami bersitatap. Kemudian ia berkata, "Gue balik lagi karena ... lupa akan satu hal."

Aku menunggu.

"Maaf, tadi gue langsung pergi tanpa menanggapi lo dengan jelas. Gue terlalu kaget dan setelah barusan gue mikir ... lo berhak mendengar penjelasan."

Malam terdengar sunyi. Entah, atau telingaku yang menuli? Tapi yang pasti, aku berusaha menyiapkan diri sendiri untuk segala kata yang akan masuk ke rongga runguku setelah ini.

Kisah ini akan berakhir--setidaknya tanpa aku dan ia harus berdiri di garis abu-abu.

"Ragita, makasih."

Eh?

"Lo tahu, ketika gue mengabadikan momen lewat kamera, bagi gue semua momen itu penting dan spesial. Tapi di antara itu semua, ada beberapa momen inti yang bisa mewakilkan segalanya; jadi ketika gue melihat momen itu kembali nantinya, semua momen yang mengikuti bakal gue ingat." Samar, aku bisa melihat ia tersenyum. "Dan lo, Ragita, adalah salah satu momen inti itu. Bagi gue."

Sebentar.

"Rasa itu ... gue mau lo menyimpannya selama yang lo inginkan. Gue nggak akan memaksa karena toh sebentar lagi gue bakal pergi. Just ... don't blame yourself to have those feelings, okay? Because those are what I'm so grateful for, right now."

Aku berdiri di tempat, berusaha mencerna apa yang barusan Kak Gadang katakan. Dan ketika kutemukan dirinya perlahan mendekat hingga menyisakan jarak satu lengan di antara kami, aku tidak bisa bergerak.

"Sebelumnya, gue mempercayai yang tadi itu adalah kali terakhir gue bisa mengantar lo pulang. Tapi, setelah ini, lo nggak keberatan 'kan pulang bareng gue? Atau mau sekalian berangkat bareng juga? Gue nggak janji setiap hari, sih, karena jadwal kita beda, tapi--"

"Kak."

"Hm?"

Aku mengerjapkan mata. Memandangnya lekat. Masih berharap yang terjadi detik ini bukanlah mimpi. Perutku seperti dililit sesuatu yang menimbulkan rasa geli. Aku mengusap ujung mata yang terasa basah. Kemudian, aku menengadah dan tersenyum lebar memandang langit.

"Kak, bulan sabitnya bagus, deh."

Sepertinya, kali ini aku tahu bagaimana harus merasai segala memori dengannya tanpa harus khawatir mereka mempunyai arti atau tidak;

sebab jawabannya, ber-arti.

crescent.

crescent

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- - -

notes:

Ada yang mau nangis bareng ga? :))))

Kaget nggak udah selesai aja nih cerita? Iya, sama aku juga kaget. Padahal kemaren aku uring-uringan bingung gimana cara mengakhiri cerita ini. Huft. Btw, sekalian curhat, cerita ini tuh ... jauh dari ekspetasiku, karena storyline pun melenceng dari outline yang awalnya kubikin. Tapi aku cukup enjoy nulis mereka, meskipun di tengah-tengah aku merasa hambar dan hilang feel. Outline awal lebih complicated, sedangkan menjelang akhir aku mau cerita ini tetep sederhana. Endingnya pun jauh bgt dari bayangan awal aku. Alhasil, kalian akan menemukan plothole di mana-mana hehe maaf ya!

Kalau ada yang mengganjal, tulis aja di komen, nanti aku revisi kalau ada waktu dan mood (ehe).

Terlepas dari hal di atas, aku mau berterima kasih banyak sama kalian yang setia ngikutin, maupun yang baru nemu cerita ini tapi mau aja baca sampe abis. Bintang dan komen kalian sangat berarti bagi semangatku melanjutkan mereka hehe. Makasih banyaaak! (peluk satu-satu)

I think i'm gonna write one more chapter as epilogue, i'll try to publish it in this week. Tapi kalau kalian udah mau remove dari library sekarang, its okay!

Last but not least, ceritain dong perasaan kalian waktu baca Gita dan Gadang!

See you in my other works! :-)

crescent.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang