Tidak ada yang bicara. Jangan berharap aku akan memulai percakapan karena kepalaku seolah sepayah itu dalam mencari topik.
"Nih, kamera lo. Makasih ya." Suara Kak Gadang sontak menyentakku. Aku memperhatikan tangannya mengembalikan kameraku ke tempat semula. "Btw, besok lo ke Reverie, Git?"
... Reverie? Tunggu. Sepertinya kata itu tidak asing. Aku menangkap raut menunggu Kak Gadang yang malah membuatku semakin sulit mencari arti kata itu. Aduh, sebentar, tolong tenang, Ragita. Jangan gugup! "Oh," sahutku ketika mendadak sebuah lampu menyala dalam kepala. "Iya, Kak," jawabku langsung.
Tanpa tedeng aling-aling, Kak Gadang terkekeh pendek. "Lama banget mikirnya?"
Tentu saja ia sadar. Dasar Ragita bodoh.
"Belum ada temen apa gimana?" tanyanya lagi.
"Hah? Oh... Udah kok, Kak."
Ia mengangguk paham. "Kalau belum, lo gabung aja sama anak-anak, mereka pada mau ke sana bareng."
Satu hal yang kusyukuri adalah untung saja aku langsung paham siapa yang Kak Gadang maksud dengan kata 'anak-anak'. Siapa lagi kalau bukan anggota klub sinematografi, yang sebenarnya aku tidak tahu pasti nama-nama yang tersemat di baliknya. "Kak Gadang sendiri dateng?" tanyaku balik demi menghindari kesunyian di antara kami.
"Iya. Berhubung gue bisa dan buat yang terakhir kalinya sebelum gue lulus SMA."
"Ah, ya, bener juga." Bagi beberapa orang, memanfaatkan waktu dan menikmati memori sebaik-baiknya sebelum suatu periode berakhir pasti sangat berharga, bukan? Seperti masa SMA, yang katanya adalah masa-masa dimana kamu akan merindukan kenangannya paling banyak. Aku sendiri belum bisa membuktikan pernyataan tersebut karena satu tahun pun belum genap kulewati.
Tidak ingin percakapan berakhir, aku memutuskan untuk memilih sebuah topik. "Kak, boleh nanya sesuatu?"
Baik sebelah alisnya dan sudut bibirnya tertarik ke atas, menjadikan wajahnya tampak lucu.
"Kak Gadang mau lanjut ke mana? Pasti udah ada pikiran, kan?"
Senyumnya mengembang, sampai geliginya terlihat. Seolah sudah tahu bahwa hal itulah yang ingin kutanyakan. "Ke Jogja," sahutnya.
Aku tidak lantas bereaksi. Sejujurnya aku cukup terkejut karena jawaban itu di luar perkiraan. Jogja terasa sangat jauh, entah kenapa. "Kenapa ... jauh banget?"
"Masih satu pulau kali. Lagian gue mau sekalian jaga nenek gue di sana. Hmm, lo mau tahu satu fakta lagi, nggak?"
Aku mengangguk ragu.
"Gue lahir dan memang asli Jogja. Tapi gue besar di Jakarta karena Bunda mau nggak mau ikut Ayah yang kerja di sini. Beberapa tahun waktu SD gue sempet pindah sih ke Jogja, nggak lama balik lagi ke sini."
Kak Gadang masih bercerita, dan sesekali aku bertanya. Percakapan ini perlahan-lahan membuatku hanyut di dalamnya, hingga aku lupa bahwa sebelumnya sempat merasa gugup setengah mati.
Aku tidak tahu apakah fakta yang baru saja kudengar adalah konsumsi umum, tapi bolehkah aku merasa ini sedikit lebih spesial karena Kak Gadang sendiri yang mengutarakannya? Meskipun tidak menutup kemungkinan ia sudah ribuan kali mengatakannya pada orang lain. Terkadang lucu bahwa ketika menyukai seseorang, kamu ingin segala yang menyangkutnya dan dirimu mempunyai arti yang lebih, kendati sebenarnya biasa saja. Aku tidak mau sampai harus mencapai tahap itu; dimana segalanya menjadi buram dan akhirnya akulah yang mematahkan hatiku sendiri. Namun, mungkinkah?
— — —
notes:
Halo! Gita Gadang balik lagi. Semoga kalian nggak lupa :( maaf banget untuk update yang telat banget. Baru nemu ritme nulisnya sekarang. Btw, aku udah selesai bikin outline cerita ini sampai akhir (finally!) dan aku usahain cerita ini udah selesai sebelum aku masuk kuliah sebulan lagi. Hehe. Can't promise i'll update everyday tho, but i'll make sure your wait wont be that long. Probably twice a week? Doakan saja lancar!
BTW ini gapenting, but any of you playing bts world? Temenan yuk! Temen aku dikit bgt :( kode aku: BDPQFQW! Hihi.
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]