"Rat, Git. Istirahat dulu sini."
Aku dan Ratna sama-sama memalingkan atensi kepada pemilik suara barusan; seorang teman lelaki sekelompok kami-namanya Yudha-yang tengah menata plastik berisi entah apa di meja bundar berpayung. Tak berapa lama kemudian, kami meninggalkan aktivitas dan memutuskan untuk menghampirinya.
"Eh, Git, ini susu taro lo," kata Yudha dengan tangan mengangsurkan sekotak susu karton berwarna ungu begitu kami sampai.
Aku menerimanya dengan senang hati. "Makasih."
Ratna tiba-tiba bersuara, "Gue mana?"
Yudha mengangkat wajah, lalu bingung sebentar sebelum menangkap maksud Ratna. "Itu, ambil aja apa yang lo mau," ujarnya santai.
"Yang taro satu doang?"
"Iya, punya Gita. Emang lo tadi pesen apa?"
"Ng ... nggak ada sih. Nggak ada yang nanya gue. Lo kok cuma tanya Gita doang? Kapan lo tanya dia?"
"Tadi. Lo nggak ada sih tadi."
"Ah, Yud, nggak asik banget sih lo." Ratna memasang muka sewot. Tangannya masuk ke dalam plastik dan meraih apa pun dari sana.
"Dih, apaan?"
"Lo tuh nggak punya sense, lo juga, Git, masa-"
"Diem, diem, Bang Gadang mau ke sini, noh." Sontak kami bertiga memusatkan perhatian ke satu titik.
Melihat perawakan itu, mendadak aku kesulitan menelan susu yang tengah memenuhi mulut. Tidak butuh waktu lama untuk jarak kami berubah sedemikian drastisnya, pasalnya kini lelaki itu sudah berdiri di sebelahku. Wangi parfumnya bahkan sampai tercium.
Yudha adalah yang pertama menyambutnya. "Bang, mau susu? Ada banyak, nih."
"Boleh? Gue lagi haus juga, nih."
"Ya bolehlah, masa kaga. Nih ambil aja. Tapi sisa yang vanila."
"Makasih, ya." Kak Gadang segera membuka bungkus sedotan dan meminum susunya. Satu tegukan, dua tegukan. Begitu matanya tertuju padaku, rasa menyesakkan yang sedari tadi berkumpul di dalam dadaku kian mengencang. Syukurlah ia cuma menatap sekilas. Suaranya kemudian kembali terdengar, "Kalian gimana? Udah take video?"
"Udah, Bang," Yudha menjawab.
"Coba gue lihat."
"Eh, kamera gue lagi dibawa Adi. Coba punya lo, Git."
Mataku melebar sedikit. Kelabakan. Tanpa kusadari Kak Gadang memandangku, barangkali menunggu aku menyerahkan kamera yang terkulai di depanku. Aku meliriknya sejemang sebelum perlahan mendorong kamera hingga sampai ke hadapannya.
"Gue lihat, ya?" izinnya. Aku mengangguk.
Meja bundar menjadi senyap. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing; Yudha dan Ratna memainkan ponsel, Kak Gadang mengotak-atik kameraku, dan aku sendiri tenggelam dalam kepanikan yang berusaha kuredakan.
"Hm ... ini siapa yang take?" Kak Gadang tiba-tiba saja menyorongkan kamera padaku dan menunjukkan suatu video. "Gita?" lanjutnya. Aku mengiakan. Ia tersenyum. "Jago juga ya, ambil angle. Gue bisa pensiun dengan tenang kalau gini."
Sepi datang lagi. Namun tak lama Ratna menceletuk, "Eh, gue jadi laper. Yud, temenin makan di kantin, dong. Lo tadi jahat sama gue jadi sekarang nurut nggak lo." Gadis itu berdiri dari duduknya, menarik serta Yudha yang tampak enggan.
Aku dibanjiri kepanikan semakin parah. Kalau mereka pergi, maka cuma tersisa aku dan Kak Gadang, bukan? Astaga. Tidak. "Eh, Rat, gue-"
Ratna tidak membiarkan aku menyelesaikan kalimat karena ia segera menyela, "Iya, Git, ntar gue beliin ayam geprek."
Ratna dan Yudha semakin jauh di pandangan. Aku mengempit kedua bibir. Melirik lewat ekor mata, Kak Gadang masih sibuk dengan kameraku. Rasanya aku ingin bergeser jauh-jauh darinya karena menurutku jarak kami duduk terlalu buruk untuk jantung. Bahaya kalau suara detakku sampai terdengar ke telinganya. Aduh, bagaimana ini?
- - -
notes:
Doain uasku besok lancar dong :,,)
KAMU SEDANG MEMBACA
crescent.
Short StoryHanya tentang seorang Gita yang lebih menyukai bulan sabit dibanding purnama. © 2019 all rights reserved by fluoresens. [cover photo belongs to its rightful owner.]