Chapter 24

2.3K 93 24
                                    

"Udah, lo berhenti nangis. Jemput gue sekarang di kafe Loka. Kita ke Rumah Sakit liat keadaan Dito," perintah Riri.

Kenapa harus ke kafe, seharusnya kan bisa langsung ke Rumah Sakit, Batin Aura bingung.

"Ken--"

"Udah buruan!" potong Riri tidak mengizinkan Aura bertanya lagi. Aura pun menurut, karna tak ingin berdebat lagi.

Setelah berpamitan dan mendapat izin dari Mama nya, Aura pun berangkat ke kafe untuk menjemput Riri. Dia tidak sendirian, Pak Budi yang mengantarnya. Masih ingat Pak Budi? Ya, Pak Budi sopir pribadinya.

Pikiran Aura sudah pergi entah
kemana, dia cemas memikirkan keadaan Dito. Tiba-tiba saja bayangan masa lalu nya tentang Roy kembali berputar dipikirannya. Ya, Roy mantan kekasihnya, yang harus pergi meninggalkannya karna sebuah kecelakaan. Aura takut hal itu akan terjadi lagi. Bagaimana jika iya? Aura tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini.

Ah, tidak. Aura tidak boleh memikirkan hal buruk tentang Dito, dia harus yakin bahwa saat ini Dito baik-baik saja.

"Pak, bisa lebih cepet lagi nggak? buru-buru soalnya," pinta Aura pada Pak Budi.

"Iya non," jawabnya kemudian mempercepat laju mobil.

Sepuluh menit berlalu, Aura sudah sampai di kafe Loka. Dengan langkah cepat, Aura bejalan meninggalkan parkiran kemudian masuk ke dalam. Tidak butuh waktu lama, dia sudah berada didalam kafe. Suasana kafe mulai sepi, mungkin karna ini sudah larut malam.

Eh, tunggu. Ini kan sudah larut malam, kenapa Riri masih ada di kafe ini? Apa Bundanya mengizinkan?Tumben. Setau Aura, Riri bukanlah tipe anak yang suka keluar malam. Peraturan yang diberikan orang tuanya juga tak kalah ketat dengan peraturan yang diberikan mama nya, tapi kenapa malam ini dia diperbolehkan keluar malam? Bahkan sekarang hampir jam dua belas malam.

Ah sudahlah untuk apa Aura memikirkan itu. Seharusnya Aura sekarang menemui Riri kemudian pergi ke Rumah Sakit untuk menemui Dito. Aura sudah sangat khawatir dengan kondisinya saat ini.

Aura menyapu pandangannya ke semua penjuru ruangan. Matanya sibuk mencari sosok yang sejak tadi dicarinya, siapa lagi jika bukan Riri.

Keadaan kafe yang mulai sepi, membuat Aura bisa dengan mudah menemukan keberadaan Riri, temannya itu sedang sibuk memainkan ponselnya dengan tenang seakan tak ada masalah yang sedang terjadi.

Dengan langkah cepat, Aura berjalan menghampiri Riri. Dia tidak ingin membuang waktu lagi, karna ini sudah larut malam.

"Ri, ayo buruan!" teriak Aura membuyarkan lamunan Riri yang tengah fokus pada ponselnya.

"Eh, iya ayo," jawab Riri kemudian beranjak diikuti Aura. Mereka pun berjalan menuju parkiran, terlihat Pak Budi masih setia menunggu disana.

Setelah memberi tau tujuan mereka pada Pak Budi, Aura dan Riri segera masuk kedalam mobil. Untuk mempercepat waktu, Pak Budi pun segera melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi.

"Kata Duta, Dito parah tau Ra. Gue jadi khawatir," kata Riri memecah keheningan. Mendengar itu Aura semakin khawatir, pikirannya tiba-tiba tidak tenang. Ingin rasanya dia bertemu Dito sekarang juga. Kenapa juga Riri memberitahunya tentang kondisi Dito, jika seperti ini kan Aura semakin cemas.

"Parah gimana? Plis deh Ri, jangan buat aku semakin takut," kata Aura jujur. Detak jantung Aura bergerak semakin cepat, ia sudah berusaha tenang tapi tidak bisa. Pikirannya selalu teringat akan kondisi Dito. Apa lagi setelah Riri mengatakan bahwa kondisinya parah, Aura semakin khawatir.

Tiga hari mereka tidak bertemu, bukannya mendapat kabar baik, Aura justru mendapat kabar buruk. Menyedihkan!

"Gue juga nggak tau parahnya itu gimana, mungkin lecet-lecet. Gue tau ini dari Duta, jadi gue nggak tau jelasnya itu gimana," jawab Riri, Aura memutar bola matanya malas. Sahabatnya ini tidak pernah berubah, setiap informasi yang diberikannya pasti tidak pernah lengkap. Seharusnya kan dia bisa bertanya lebih detail pada Duta sebelum memberitahu nya.

REALLY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang