Malam menjelang hilang, berganti pagi disertai munculnya matahari secara perlahan-lahan. Suara bising terdengar ke penjuru rumah. Sebenarnya rumah itu tidak besar, hanya satu ruangan kecil untuk tempat tidur, satu bilik kamar mandi dan ruangan dapur minimalis. Ruang tamu? Alexa membuatnya sebagai kamar tidur. Rumah Alexa hanya dipisahkan oleh dinding bersekat untuk memisahkan antara dapur dengan kamar tidur.
Alexa mengucek kelopak matanya, ia meraba-raba samping kepalanya untuk mencari benda persegi hitam milik Alexa. Gadis itu sedikit mendecak karena ternyata itu bukanlah alarm yang telah ia pasang ketika malam hari, melainkan telpon. Alexa segera menggeser ikon hijau, lalu mengarahkannya pada telinga.
"Alexa, lo gapapa kan? Lo diapain tadi sama si berengsek Michael?" Dan itulah suara pertama kali yang Alexa dengar dari sahabat laki-lakinya.
"Lo apa-apaan, sih? nelpon pagi-pagi cuma bilang itu doang." cebik Alexa kesal. Bukannya menyesal, pria di seberang sana malah terkekeh. Rey pagi-pagi udah gila aja.
"Lo sejak balik dari dipanggilnya Mr. Michael lebih banyak diem, pas gue tanya lu juga bilang gapa-pa. Intinya gue gak mau lo kenapa-napa."
Alexa terdiam, hanya sebentar sebelum kini ia yang terkekeh. Alexa pun sudah bertekad akan menyembunyikan hal ini dari Rey, ciuman pertamanya yang telah direbut harus disembunyikan.
"Kesambet apaan lo? pagi-pagi gini udah sweet aja, gue gapapa, cuman Mr. Michael iseng ngerjain gue doang. Udah, ya. Gue mau siap-siap sekolah."
"Sekolah? Tapi hari ini kan-" suara ponsel dimatikan secara sepihak, membuat Rey berdecak kesal di rumahnya.
Alexa bangkit dari kasurnya, ia menggulung kasur lantainya. Alexa tidak punya ranjang, jadi ia membeli kasur lantai lalu dialasi seprai. Sakit? Tentu saja, namun Alexa sudah terbiasa. Ia terbiasa untuk hidup mandiri dan mencukupi segala kebutuhannya sendiri.
Ibu Alexa meninggal di saat gadis itu berumur lima tahun, ayah? Alexa tidak pernah tau. Sejak Alexa lahir pun ia tidak pernah melihat sosok ayahnya, jadi Alexa menganggap bahwa ayahnya sudah meninggal. Karena sekali pun Alexa tidak pernah melihat batang hidungnya, tidak mungkin jika ia melupakan Alexa, kan.
Alexa menyiapkan bekal dan sarapan dengan hati berkecamuk karena ingatan tentang memiliki ayah kembali menghantuinya, Alexa kerap berharap bahwa ayahnya akan datang menjemputnya agar Alexa tidak sendirian. Namun, itu hanyalah menjadi harapan seorang gadis, karena pria yang dimaksud tidak pernah datang. Pada akhirnya, Alexa tetap sendirian.
Alexa melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajahnya, menggosok giginya lalu mengambil seragam sekolah lengkap dengan pin zamrud merah yang melambangkan keagungan sekolah. Kini seragam Bixbite telah melekat sempurna di tubuh Alexa, membuatnya sedikit percaya diri akan konflik yang menghampiri hidupnya. Hanya ini yang Alexa punya sebagai kebanggaan. Sekolah? Benar juga, apa kabar dengan Mr. Michael. Apa pria itu menunggunya? Tidak mungkin, Michael Lowel Winston lho ini. Mana mungkin repot-repot menunggu Alexa, mungkin pria itu hanya mengerjainya dan tidak ada disana.
"Tidak usah pura-pura tidak tau, datanglah ke café Rose dekat sekolah, sekarang!"
"Jika tidak kau pasti akan menyesal."
Kini Alexa penasaran dengan apa yang akan terjadi karena ia tidak datang ke Café Rose. Apakah Mr. Michael akan melakukan sesuatu, Seperti mencabut beasiswanya? Mati! Alexa tidak ingat bahwa pria itu keturunan Winston, dengan kata lain hidup mati Alexa berada disekolah itu bergantung pada Michael Lowel Winston. Jangan bercanda. Lagipula siapa yang mau keluar pukul sebelas malam. Alexa bukanlah kupu-kupu malam atau perempuan murahan yang tanpa ragu keluar sampai larut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Jerk (Yandere)
Mystery / ThrillerTakdir seolah terus saja menghempas Alexa tanpa henti, tanpa istirahat, dan tanpa jeda. Kedua orang tuanya diketahui meninggal di saat Alexa berumur lima tahun. Saat masuk SMA pun, Alexa harus bertemu pria gila yang memiliki kelainan. Pria ini...