"Ayo pulang! Ini payungnya!"
"Eh? Terima ka... sih." Baru saja Alexa hendak berterima kasih, iris coklatnya bertemu dengan sosok guru yang ia kenali dengan perawakan tegap dan wajah yang lumayan.
Sebuah payung hitam, membawakan embusan memori kematian ibunya dahulu. Alexa masih ingat kala itu dimana ia dan kerabat serta tetangganya mengunjungi makan Ibunya. Saat itu, awan mendung mendominasi langit membentang. Dikarenakan hujan akan turun sewaktu waktu, mereka menggunakan payung hitam. Bentuk dan rupanya sama persis dengan payung yang digunakan Michael. Tidak tidak Alexa! jika kau terus seperti ini, kau tidak akan bisa maju dan berkembang.
Michael menyodorkan payungnya pada Alexa yang sedari tadi melamun. Segera setelah tersadar, Alexa menyambar benda itu dan membukanya. Baru saja dua langkah dari loker sepatu, tubuhnya tertarik ke belakang. Sosok yang menarik tas Alexa menatap tajam.
"Apalagi pak? Saya mau pulang, mau belanja." Alexa mendesah ketika menoleh dan matanya kembali menangkap Michael, namun ada sesuatu yang berbeda.
"Saya tidak menyuruh kamu membawa payungnya, pegang payungnya." Titah Michael datar.
Dahi Alexa mengernyit, memandang betapa jauh selisih tinggi mereka berdua. Jika memang Alexa yang harus memeganginya, rasanya mustahil. Bayangkan saja, tinggi Alexa hanya 155 cm dan tinggi Michael 185 cm. Bisa disimpulkan bahwa selisih tingginya 30 cm, jauh bukan?
"Lebih tinggi sedikit! Nah begitu... ayo pulang."
Langkah demi langkah mereka lalui, dan langit masih menangis. Tidak ada percakapan signifikan di bawah payung hitam. Hanya gemercik hujan dan semilir angin kencang yang mendominasi mereka berdua.
"Mister, anda memiliki hutang." Alexa membuka obrolan yang sempat tertelan oleh derasnya hujan.
"Saya lupa membawa uang kecil," jawabannya begitu datar mungkin, namun berhasil membuat Alexa kecewa.
Michael memang orang yang sulit ditebak menurut Alexa.
"Mister, nanti mampir sebentar ke minimarket bisa?"
Kembali terdengar gumaman dari Michael, sehingga Alexa menyimpulkan bahwa Michael menyetujui permintaan Alexa.
Tidak lama setelah obrolan singkat tadi, suara hujan kembali menengahi keheningan antara mereka. Sejauh mata memandang, hanya ada rinai hujan yang membasahi trotoar dan tanaman-tanaman hijau. Setiap ada genangan air, Michael melangkah seenaknya, menyebabkan sepatu dan kaos kaki Alexa basah terkena percikan air.
Mau marah tapi dia guru gue, hm...
Alexa membalas perlakuan Michael dengan berjalan seenaknya, ah bahkan lebih parah dari itu. Gadis itu berbinar ketika melihat genangan, menunggu Michael melintasi genangan akibat hujan, lalu Alexa melangkah dengan semangat. Bahkan ia melompat sehingga bunyi cipratan terdengar hingga membasahi seluruh pakaian Michael. Tidak terlalu basah, namun sanggup mencapai pinggangnya yang tinggi.
Alexa terbahak menyadari ekspresi Michael yang terkejut, bahkan bola mata Michael tampak membulat memperlihatkan iris hitam tegasnya. Terlalu hitam untuk orang Indonesia, orang Indonesia cenderung berwarna cokelat tua. Namun Michael seolah memiliki warna hitam pekat hingga terasa pupilnya menyatu dengan bola matanya.
"Mister, anda orang Indonesia?." alih-alih meminta maaf, Alexa malah menanyakan hal yang tidak penting sama sekali bagi Michael Lowell Winston
"Tidak tau." balas Michael sembari membersihkan cipratan air yang mengenai baju mahal limited edition atau apalah itu namanya.
Untunglah suasana sepi, entah karena hujan atau efek dingin sehingga para manusia memilih bergelung di kamar tidur mereka. Setelah pertengkaran singkat itu keduanya kembali berjalan, Alexa sendiri bertanya-tanya. Mengapa Michael meminjamkan payungnya? Mengapa Michael menemaninya? Mengapa Michael bersikap seolah tidak peduli padahal sebenarnya pria itu peduli?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Jerk (Yandere)
Misterio / SuspensoTakdir seolah terus saja menghempas Alexa tanpa henti, tanpa istirahat, dan tanpa jeda. Kedua orang tuanya diketahui meninggal di saat Alexa berumur lima tahun. Saat masuk SMA pun, Alexa harus bertemu pria gila yang memiliki kelainan. Pria ini...