Part 28 : Rika

1.1K 58 22
                                    

Pintu perpustakaan berselimut debu, dan aromanya yang sedikit antik, tidak menyimpan kemungkinan untuk menjadikannya sebagai tempat pembunuhan sempurna. Tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena staf penjaga perpustakaan sering meninggalkan tugasnya, bahkan tanpa ragu dirinya melahap rakus gaji buta. Tempatnya yang sedikit jauh dari gedung utama menjadi sebuah alasan mengapa tempat itu jarang dikunjungi.

Di dekapan Alexa, terdapat blazer merah lengkap dengan kemeja putih khas anak sekolah serta rok merah bermotif kotak tartan. Gadis itu yakin setelan pakaian yang ia bawa saat ini, adalah milik seorang mayat di tengah meja besar di sana.

Tiga pasang mata tersebut seolah tidak sanggup mengalihkan perhatiannya pada objek asing di sana. Mayat seorang gadis. Tangan dan kakinya terikat erat dengan kaki meja, dan tubuhnya terbaring di atas bidang datar tersebut. Lebih parah dari itu, ia dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai kain menutupi jengkal auratnya. Cairan merah menodai kulit pucatnya, mengalir lembut membentuk genangan di atas meja kayu cherry.

Tepatnya, sebuah pisau tertanam sempurna, tepat di bagian dada sebelah kiri, tempat di mana sebuah organ bersemayam dan mengerjakan tugasnya tanpa henti. Tidak ada yang berani menyentuh mayat tersebut. Mereka hanya bisa menaruh pandangan dari jarak aman.

"Mi-mister, bukankah kita seharusnya tidak menodai tempat kejadian perkara?" Jujur, Alexa gemetar saat ini. Ia merasa darah-darah dalam nadinya melaju lebih cepat. Gadis itu memeluk erat pakaian di dekapannya.

Sementara itu, pemuda dingin yang sedari tadi mengikuti mereka, menatap lekat mayat Rika. Maaf, bukannya lancang, namun netranya menatap langsung kelamin mayat wanita malang tersebut secara intens, sehingga memunculkan sebuah pertanyaan. Berapa banyak video tidak senonoh yang ia lihat? Itu tidak penting rasanya.

"Hei, bodoh! Apa yang kau lihat?" Pukulan halus Michael menginterupsi "pemandangan" yang tengah ditatap seorang sekretaris OSIS. Bahkan ia tidak mengindahkan kekhawatiran Alexa.

Dimas membenarkan kacamatanya. "Bagian kelaminnya tidak menunjukkan tanda-tanda pemerkosaan." Kemudian telapak tangannya mengarah pada dasi yang mengekang lehernya, bermaksud melonggarkannya sedikit mengundang hawa dingin ke dalam permukaan kulitnya. "Maaf jika saya lancang."

Tiga pasang bola mata menatap permukaan lantai berlapiskan karpet merah. Kotor, itu kesan pertama yang mereka berikan. Jejak kaki juga sudah menodai tempat kejadian. Jika seperti ini caranya, menghubungi kepolisian pun rasanya sulit, karena mereka tidak sengaja mengacaukan tempat kejadian perkara.

"Aku akan menjelaskan segalanya pada ayahku. Sebaiknya kita menunggu di luar, jangan mengeksplorasi lebih jauh." Dengan santai pemuda itu mengeluarkan ponselnya, kemudian menelpon sosok yang ia sebut ayah.

"Kalau begitu, aku akan menghubungi Rey dan yang lainnya." Gadis itu juga mengeluarkan benda persegi dari sakunya, menekan nomor yang tertera, kemudian menghubunginya.

***

"Ja-jadi, gue harus gimana?" Lucy terisak. Keputusasaan telah merenggut paksa kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Kini, ia tidak lebih sebagai rusa lengah yang terjebak dalam perangkap beruang.

Laras dan Leon bertukar pandang, lalu dua pasang netra tersebut menilik pada pemuda yang sedari tadi terpaku pada layar ponselnya.

"Kalo lo gak niat penyelidikan, mending pulang aja, deh," sindir Leon.

"Sudah, sudah." Mungkin sebuah keberuntungan juga bahwa Laras berada di sisi mereka berdua. Toh, tidak sopan membuat keributan di rumah orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Jerk (Yandere)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang