Part 27 : Satu Keputusasaan

877 49 7
                                    

Dalam ruangan itu suasana terasa lebih mencekam, debu serta nuansa remang-remang tidak mereka hiraukan. Tak ada canda tawa, bahkan suara bernapas pun menderu pelan. Seseorang disana membuka suara, suaranya terdengar serak mungkin karena suasana mencekam yang terbuat, mau bagaimana lagi tidak ada yang tidak merasa cemas dengan peristiwa ini.

Seolah-olah nyawa yang berada di sekitar mereka akan terambil dengan mudah, seolah-olah menebak-nebak siapa korban selanjutnya. Tentu hal itu bukanlah suatu hal menyenangkan, hingga mereka harus menerima satu sama lain yang terkait dengan kasus ini, entah bagaimana caranya. Suka ataupun tidak, ingin ataupun tidak. Mereka harus menerimanya.

Gadis itu berusaha menormalkan suaranya, "Mari kita bahas tentang kasus pertama." Alexa berhasil menyuarakan kalimatnya, ketika tak ada bantahan ia kembali melanjutkan.

"Pertama yaitu kasus Dave, Dave diketahui bahwa berinteraksi denganku pada pagi hari dan ditemukan tewas pada malam hari. Ada fakta yang harus kita ketahui, bahwa Dave telah melakukan adegan kekerasan." para manusia disana mendengarkan dengan serius, tanpa ada kata bantahan sedikitpun untuk menerima cerita itu secara utuh.

Alexa menarik napasnya karena bayangan Dave untuk yang kesekian kalinya menghantui pikiran, menghampiri di sela-sela kegiatan seolah menamparnya dari kenyataan yang telah ia hadapi. "Lalu yang kedua, semua orang tau bahwa para kumpulan gadis yang kita tau pembully itu berisi tiga orang, hingga aku terjebak di toilet." Dan kembali Alexa harus mengingat kembali kesakitan yang telah diterimanya, dingin yang merasuk tulang-tulangnya karena terjebak di toilet dalam keadaan basah.

"Satu orang telah meninggal pagi ini, tersisa dua orang. Kita harus bergerak cepat karena aku yakin dua orang ini adalah korban selanjutnya, karena mereka telah terlibat kekerasan olehku." Alexa menarik napas, menuntaskan kisahnya lalu kembali duduk pada kursi semula.

Air mata hampir mengalir dari pelupuk matanya, ia tidak boleh menangis. Alexa sudah berjanji tidak akan menangis hanya karena pembunuh itu, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapinya dengan berani. Alexa tidak akan lagi takut atau menangis.

"Ada satu yang membuatku penasaran," semuanya menoleh ke arah sumber suara, itu adalah suara Rey. "Bagaimana dengan pembunuhan Anne?"

Detak jantung Alexa kembali berpacu, benar. Bagaimana dengan Anne? Selain hanya ia duduk di depan Alexa, Anne tidak pernah terlihat kontak fisik dengan Alexa. Mereka berdua hanya pernah berbicara sepatah dua patah kata, tidak lebih sedari itu. Artinya tidak ada alasan Anne harus di incar dan di bunuh, namun pada kenyataannya Anne juga telah tewas dengan mengenaskan.

Semuanya kerap terdiam dengan pikiran masing-masing, mencari-cari alasan yang tepat mengapa bisa Anne terbunuh "aku berpikir mungkin mereka pembunuh yang berbeda?" Laras memecah keheningan itu, kemudian ia kembali menunduk karena merasa mungkin ia salah memberikan jawaban.

Lalu Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kurasa pembunuh itu satu orang, kau tau siapa orang yang paling terlihat oleh Alexa ketika di kelas?"

Dimas menatap sekeliling, ia menatap satu persatu netra dalam ruangan itu. "Benar, jawabannya adalah Anne." pria itu menghela napas ketika pandangan bingung terarah padanya.

"Menurutku bukankah pembunuh itu seolah sedang menyampaikan pesan?" Dimas berpikir hingga tanpa sadar ia mengerutkan dahinya, semua orang menunggu.

Michael yang sedari tadi tidak mengangkat suaranya dalam diamnya ia tersenyum, anak-anak ini lumayan. Pikirnya. Kemudian ia berdeham untuk menghancurkan keheningan kembali, "bagaimana jika pesan itu berarti bahwa sang pembunuh menyombongkan dirinya bahwa ia bebas membunuh siapapun dan tidak akan pernah tertangkap."

"Pesannya lumayan panjang, namun menurutku membunuh Anne adalah untuk memberi peringatan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya." kini Rey yang berkata, ia menatap Alexa. "Sepertinya kita harus menemukan Lucy dan Rika untuk melindunginya, meski aku benci mereka aku tidak bisa membiarkan mereka meninggal begitu saja. Jika aku membiarkannya, itu berarti membiarkan pembunuh sialan itu menang."

The Jerk (Yandere)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang