"Haru, sekarang tugasmu!" Teriak gadis berambut perak yang tiba tiba muncul dengan sisa salju pada tubuhnya di hadapanku. Aku yang sedari tadi merangkai kalung bunga di sofa mengadah tanpa semangat."Secepat itukah musim semi datang?" Keluhku sembari melempar rangkaian bunga ke sembarang tempat, dengan cepat ia menangkap benda itu dengan sihirnya sebelum sempat menyentuh tanah. Sayangnya hal itu hanya menyebabkan bunga yang telah kurangkai membeku seketika.
Aku berhenti sejenak lalu menghadap ke belakang sebelum membuka pintu.
Fuyu, nama gadis itu, berbadan mungil dengan manik mata biru tua. Ia menusukku dengan tatapannya.
Aura yang ia pancarkan di matanya begitu dingin, sedingin musim dingin yang telah ia ciptakan.
"Cepatlah pergi jika tak ingin Dewa marah padamu." Peringatnya. Tanpa berpikir dua kali kujentikkan jari, membuat jariku berpendar dan sepasang sayap merah muda berkilau muncul di punggungku.
"Tanpa kau peringatkan juga aku sudah tau."
Pintu di belakangku terbanting keras.
Setelah menghela nafas sekali, kubentangkan sayap lalu terbang melintasi angkasa. Meninggalkan istana empat musim yang terletak di atas gumpalan awan—tempat tinggalku dan peri peri empat musim lainnya.
Sejujurnya aku tak pernah terlalu tertarik dalam pekerjaan ini. Tugasku hanya menyebarkan sihir untuk menghangatkan berbagai tempat dan memekarkan bebungaan. Namun aku lebih tertarik menyebut pekerjaan ini sebagai sebuah kutukan ketimbang sebuah pekerjaan yang biasa para manusia sebut. Karena jika salah satu dari kami membangkang, Sang Dewa tak segan segannya menbunuh kami.
Aku tinggal di istana awan bersama Fuyu, Natsu, dan Aki. Mereka adalah gadis peri lain yang mengontrol tiga musim lainnya. Kekuatan kami semua di bawah kontrol Sang Dewa walaupun terbilang kuat. Tanpa Sang Dewa kami tidak bisa berbuat apa apa.
Ketika aku menembus awan terendah, suhu dingin langsung menyeruak menusuk tulang. Hujan salju tak segan menerpa wajahku. Dengan cepat kuulurkan tangan ke bawah,
"Onnanoko no haru !!"
Udara menghangat, hujan salju terhenti. Aku menyusuri danau beku sembari menyalurkan pendar cahaya merah muda berkilau yang mencairkan danau. Kulancarkan beberapa bulatan pendar cahaya ke arah pepohonan. Salju yang menempel pada dedaunan perlahan menghilang, digantikan oleh bunga yang mulai bermekaran berwarna warni.
Hal itu yang terus kulakukan selama beratus ratus tahun hingga membuatku muak. Peri peri lain yang tinggal seatap denganku perlahan lahan telah berubah menjadi boneka tak berhati, tak berperasaan. Yang ada dalam otak bodoh mereka hanyalah mengganti musim, terus menerus, tak terpikirkan untuk memenuhi nafsu mereka yang lain selain menjalankan perintah Sang Dewa.
Sungguh mengerikan. Aku tak ingin seperti mereka.
Mungkin aku akan mengingkari pekerjaanku agar mati di tangan Sang Dewa. Kematian terdengar lebih bagus di telingaku saat ini. Aku tak mempunyai alasan yang kuat untuk tetap hidup. Terasa mustahil mewujudkan mimpiku untuk menjadi manusia kembali.
Karena sekarang aku bukan lagi seorang manusia yang dianugerahi kekuatan yang hebat. Aku hanyalah kaki tangan Sang Dewa yang sebentar lagi akan kehilangan esensi hidup.
•*•*•*•
Terharu banget akhirnya No Longer Human rilis chapter pertama T-T hiks.
Terharu banget loh, doakan ya semoga No Longer Human bisa rilis sampe complete~~
Semangat author menulis chapter itu karena dorongan kalian loh readerss jadi jangan sungkan untuk vote dan comment :3 💕💕 your pleasure is my spirit•*•*•*•
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasyManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...