#24 Tujuan yang sebenarnya

405 77 7
                                    


"Akutagawa, bawa dia." Perintah Mori. Seketika pintu besar terbuka memperlihatkan sosok dingin Akutagawa. Rantai yang mengikatku perlahan merenggang. Belum sempat aku melarikan diri, sulur panjang Akutagawa mengejutkanku dengan lilitannya yang kuat.

"Kau mau apa??" Jeritku.

"Akutagawa akan menunjukkan rencanaku padamu, Haru-chan."

Pada akhirnya aku tak banyak bicara lagi. Rasa penasaran meredam sedikit amarahku yang meluap. Akutagawa membawaku dan Mori meninggalkan penjara terkutuk itu.

Lorong bawah tanah terasa pengap, sangat sunyi sampai aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. Perjalanan tak mengenakkan ini berakhir di ujung lorong yang menyilaukan. Rasanya sudah terlalu lama aku tidak merasakan sinar matahari walaupun hanya semalam terkurung.

Untuk yang kedua kalinya, Akutagawa membawaku melompati bangunan bangunan tinggi hingga akhirnya kami tiba di gedung Port Mafia. Pintu yang terbuka memperlihatkanku pemandangan yang sama sekali tak terduga.

Ruangan itu berkali kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang terlihat dari luar. Lantainya tak berujung, tidak dibatasi dinding yang jelas.

Namun ada hal yang membuat kakiku terasa lebih dingin selain lantai marmer.

Sang Dewa bersimpuh tak berdaya di tengah ruangan dengan sesuatu yang bercahaya membelitnya. Tak sadarkan diri.

"Selamat datang di rencanaku yang sebenarnya, Haru-chan." Mori membentangkan kedua tangannya.

"Ap-apa? Bagaimana kau bisa?!" Aku memberontak. Sulur Akutagawa menyeretku mendekati Sang Dewa.

"Tidak ada yang tidak bisa Port Mafia lakukan." Mori menyeringai, ikut melangkah maju mendekatiku. "Inilah rencanaku selama bertahun tahun."

Lihatlah, Sang Dewa yang biasanya berwajah tegas dan kuat kini terkulai lemah. Ini benar benar di luar dugaan, tak mungkin Sang Dewa tertangkap semudah ini!

"Port Mafia rela melakukan apapun demi tujuannya. Sama halnya denganku yang rela membunuh bos Port Mafia terdahulu dengan pisau bedahku."

Keringat dingin menetes membasahi pelipisku. Mataku silih berganti melihat Mori dan Sang Dewa.

Mereka berdua mirip.

"Siapa kau sebenarnya, Mori?" Aku bertanya seolah ada yang memaksaku melakukannya. "Apakah kau memiliki hubungan darah dengan Sang Dewa?"

Mori tersenyum lebar, bukan lagi seringaian dingin. "Ya! Kau sangat tepat dalam menebak."

"Apa maksud-"

Aku terjerembap ke lantai karena Akutagawa tiba tiba melepas sulurnya dari pinggangku. Mori melangkah mundur seakan bersiap untuk sebuah pertempuran.

Belum sempat menyadari apa yang terjadi, Sang Dewa menggeliat lalu membuka matanya. Ia menatapku nyalang.

Dadanya terangkat, mengambil napas.

"Kau, pangkal dari semua masalah ini!" Semburnya parau tepat di hadapanku. Ajaib, aku dapat merasakan emosi yang meluap dari Sang Dewa. Sedih, marah, kecewa, dan penuh benci. Emosi yang sangat kuat.

Namun aku hanya dapat terdiam menatap matanya nanar. Bukankah seharusnya aku merasakan kebebasan karena ia telah ditangkap? Namun tidak ada kebahagiaan barang setitikpun. Hal yang kukira menjadi pusat kebahagiaanku ternyata hanyalah sebuah kekosongan.

"Keseimbangan alam hancur perlahan karena ulahmu, kau tahu??" Napas Sang Dewa menderu. "Aku menyesal tidak langsung memberimu sihir pembeku perasaan."

Mata Mori melebar bersamaan dengan senyumnya yang merekah. Sang Dewa seakan berkata hal yang selama ini ia cari.

Sihir itu. Sihir yang terus menghantuiku, sihir yang menjadi penyebab utama kaburnya diriku dari Istana Awan.

"Kalau kau ingin budakmu ini kubebaskan demi keselamatan dunia," Mori melangkah maju. "Izinkan aku memanfaatkan sihirmu terlebih dahulu."

Astaga!

Gigi Sang Dewa bergemeletak, kebencian terpancar jelas dari wajahnya. "Kau, seenaknya saja!"

"Sesama saudara harus saling membantu."

"Enyah kau, aku tak pernah menganggapmu sebagai saudara!"

Hawa memanas. Detak jantungku terhenti. Kedua tangan kudekapkan ke mulut. Sang Dewa dan Mori saling bersitatap penuh kebengisan.

Tujuan Mori sudah sangat jelas.

"Kini kau tahu, kan? Tak ada yang mampu menjadikanmu manusia kembali bahkan si jenius Dazai sekalipun." Mori menatapku kembali dengan tatapan puas, matanya berkilat kilat. "Ini bukanlah kekuatan pengguna kemampuan, ini adalah sihir turun temurun. Ia takkan bisa menetralisirnya."

"Itu tidak benar, Dazai pasti bisa melakukannya!" Seruku.

"Dalam hidup ini masih sedikit yang kau ketahui, Haru-chan." Mori mengangkat tangan kanannya, Sang Dewa mengerang karena lilitan cahaya pada tubuhnya menguat.

Ia tertawa penuh kemenangan.

"Dengan begini, hati seluruh manusia akan beku dan akan kujadikan mereka budak."





























Dazai, kau di mana??

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang