#18 Sebuah perdebatan kecil

454 86 0
                                    


Entah kenapa kakiku tiba tiba saja berlari keluar agensi, mendobrak pintu darurat (itulah yang dikatakan Kunikida) lalu melangkah turun dengan terburu buru.

Dingin.

Telapak tanganku merasakan salju yang turun dengan deras di jalan pedestrian yang sepi. Aku hanya ditemani lampu pertokoan yang berkedip remang.

Ini juga disebut dingin.

Sebanyak itukah jenis definisi dari sebuah kata 'dingin'? Aku tak pernah bisa mengingat dengan pasti, hidupku ratusan tahun silam, apakah aku pernah mendengar kata itu atau tidak. Semuanya hanyalah kilasan memori samar yang terasa bagai mimpi olehku. Padahal aku pernah berkata bahwa manik mata Fuyu sangat dingin, namun, apa hal yang benar benar mendasarinya untukku mengatakannya? Hal remeh yang terlalu digali pada akhirnya hanya menyisakan kekosongan.

"Oi, kau." Chuuya tiba tiba sudah ada di sampingku, Ia berdiri dengan keadaan membungkuk karena kursi keramat itu masih menempel pada tubuhnya. "Kenapa kau ada diluar dengan tidak memakai alas kaki?"

Alas kaki? Oh, itu benda yang membalut kaki Chuuya. Aku memang tidak pernah menggunakannya. Sang Dewa hanya memberiku pakaian yang membalut tubuh, tidak termasuk kaki.

"Haloo? Kepalamu itu terlihat sangat berat. Aku penasaran, apa yang peri sepertimu pikirkan?" Tanyanya dengan sangat tidak penting, "Oh iya, kau punya benda tajam tidak, untuk memotong taliku ini?"

"Setelah aku melepasmu pada akhirnya kau akan menculikku." Balasku tajam.

Chuuya tertawa keras, "Kau pintar juga, peri musim semi, tapi aku takkan melakukannya karena ada pengganggu di sini."

Tatapan Chuuya berubah saat melihat orang di depan bangunan merah bata itu. Dazai menatap Chuuya dingin. Saat aku mengadahkan kepalaku,

Seisi agensi menatap Chuuya dari jendela lantai dua.

"Baiklah, baiklah, sekarang aku kalah!" Akunya, "Tapi nanti, kalian semua takkan bisa mengelak dariku!"

Chuuya berjalan tertatih tatih menembus salju, badannya menghilang begitu saja di kelokan jalan.

"Harucchi, kenapa kau ada di luar?" Dazai menyenderkan tubuhnya pada dinding bata merah.

"Dazai,"

"Hm?"

Aku melangkah mendekatinya, merasakan kakiku yang mulai membeku karena salju.

"Kenapa tatapanmu itu dingin? Apa kita sama?"

Dazai menatapku, masih dengan tatapannya yang dingin menatapku dengan dalam. "Tidak."

"Kenapa?"

"Kau dingin karena kau mengasihani dirimu sendiri."

"Jadi maksudmu aku lemah??" Aku menarik trench coat Dazai, membuat lelaki itu lepas dari senderannya.

"Lemah dan rapuh." Nada bicaranya stabil, tak berubah sedikitpun, "Kau tenggelam dalam penyesalan dan kebencian yang tak berguna."

"...setelah aku berjuang sejauh ini, kau bilang aku lemah?"

Apa yang dia katakan benar benar sudah kelewat batas. Kata kata yang sangat menusukku dengan telak, aku sama sekali tak bisa mengelak.

Tapi dia sama sekali tidak menghargaiku.

"Aku, yang telah dikekang Sang Dewa beratus ratus tahun-"

"Berhentilah mengasihani dirimu sendiri!"

Aku tersentak,

Dazai membentakku.

Ia memalingkan wajahnya, "Kau selalu mementingkan urusanmu sendiri, tidak mementingkan orang lain. Benar apa yang Kunikida katakan, kau egois. Kau tak punya hati."

"Dazai-"

"Bagaimana kau merasa pantas hidup menjadi manusia jika kau bahkan tidak menghiraukan mereka yang kedinginan karena ulahmu itu?"

Ia mengucapkannya.

Benar benar mengucapkannya secara gamblang di hadapanku.

Aku menunduk, muak menatap wajahnya. "Untuk apa kau membantuku, jika pada akhirnya aku hanya mendapatkan rasa sakit seperti ini?"

Aku melonggarkan cengkeramanku pada trench coatnya lalu menghela napas sekali,

"Karena itu aku butuh pertolonganmu, Dazai, karena aku memang tak memiliki rasa kasih sayang di hatiku bahkan untuk diriku sendiri."

Aku melewati tubuh Dazai, berjalan menuju jalan pedestrian lalu mengembangkan sayapku.

Rasa kasihan pada diri sendiri bukan muncul karena rasa sayang, justru itu karena kau benci pada dirimu sendiri.

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang