#8 Kesempatan kedua

673 111 1
                                    


Aku menyentuh pundak lelaki itu pada bulan maret tahun baru. Ia menoleh ke belakang, agak terkejut melihatku yang sekarang--kuyakini--sangat kacau.

Sayapku menghilang, kakiku gemetar tak kuasa menahan beban di tubuhku.

Untuk pertemuan kedua kalinya, aku terpuruk di atas hamparan salju dengan tangan kananku yang meremas ujung trench coat miliknya.

Sungguh buruk mimpiku selama setahun ini. Sangat buruk, membuatku makin ingin membunuh diriku sekarang.

"Kumohon, tolong aku." Ucapku bergemetar. Tak peduli akan dia yang risih dengan tarikanku, semakin aku menarik tubuhnya. "Tolong aku..."

"Hei, kau-"

Seluruh dunia gelap, kepalaku terasa berat. Aku tersungkur tepat di hadapan lelaki itu.

***

Mataku terbuka perlahan. Pusing.

Hal pertama yang dapat kulihat dengan jelas adalah secangkir cokelat hangat dengan marshmallow. Pandanganku mulai menyapu seluruh ruangan, mendapati Dazai memandang hujan salju di balik jendela. Ia memunggungiku.

"Aku membuatkannya untukmu." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari jendela.

Aku menapakkan kedua kakiku ke lantai kayu, mencoba beranjak dari sofa namun kepalaku masih terasa sangat berat.

Sekarang aku berada di apartemen lelaki itu. Itu berarti, dia telah membopongku--tidak--sepertinya, menyeretku kemari.

Sebentar, aku lupa siapa namanya.

Oh iya, Dazai. Osamu Dazai, lelaki pemilik kemampuan menetralkan kekuatan lain.

"Ternyata kau itu berat, ya."

Aku meraih secangkir cokelat di hadapanku, mengabaikan perkataannya yang terdengar agak menghina. Aku sedang tak berniat membalas walaupun ingin rasanya aku menyiram cokelat panas tepat di wajahnya.

"Jadi, masih mau meminta bantuanku?"

Aku menyeruput cokelat panas yang Dazai buatkan untukku. Hangat.

"Iya, aku masih ingin meminta bantuanmu."

Ia menoleh kepadaku, lalu menelengkan kepalanya ke kanan. "Bagaimana caranya aku membantumu?"

"Aku juga tak tahu. Haha,"

Jawaban macam apa itu, bodoh! Apa yang baru saja kukatakan? Kuakui itu sangat ngelantur. Ya, ngelantur.

Dazai melempar wajahnya menghadap ke jendela lagi. "Cih, bodoh."

Kuakui ucapannya benar. Aku juga tau aku bodoh mengucapkan itu!!

Aku menatap secangkir cokelat panas di genggamanku.

Apa yang kulakukan disini? Meminta pertolongan kepadanya, jelas. Tapi, minta tolong bagaimana?

"Aku belum mengatakan bersedia membantumu, loh. Lagipula jika membantu, membantu bagaimana?" Ia menyenderkan punggungnya pada bingkai jendela lalu berbalik menatapku. "Pembicaraan ini terlalu berputar putar,"

Ia mengambil napas dalam dalam-

"Pertama, kau memberontak karena tidak ingin dijadikan kaki tangan si pengendali yang tak berjiwa--maksudku--tidak punya hati.

"Kedua, tidak mungkin si pengendali itu melepaskannu begitu saja karena kau adalah pemegang kestabilan dunia ini, karena kau memegang musim di kedua tanganmu."

"Ketiga, kenapa dia harus memperbudak keempat gadis malang itu? Kemungkinan besar karena ia tak sanggup mengemban keempat musim itu sendirian karena energi yang dihasilkan akan sangat besar dan mengancam jiwanya. Jika aku menetralisir kekuatannya, musim di Jepang akan hancur berantakan."

"Sang Dewa, maksudmu?"

"Nah, iya. Apapun itulah."

Ia tegak dari senderannya, berjalan ke arahku lalu mengangkat kedua tangannya.

"Apa-"

Belum selesai aku bertanya, ia telah menyelaku terlebih dahulu dengan nada bicaranya yang malas, "aku tidak bersedia membantumu."

Cih.

"Untuk apa kau memberi harapan kepadaku dari awal, jika pada akhirnya kau berkata tidak??"

"Siapa juga yang memberi harapan, kau saja yang terlalu percaya diri. Kita hanya tak sengaja bertemu karena aku mengeluarkan ningen shikkaku milikku lalu kau mengemis pertolongan dariku padahal aku sendiri belum bilang akan setuju." Ucapnya pedas.

Sial, dia mempermainkanku! Lihatlah, tampang bodohnya begitu mengesalkan. Sekarang dia menatapku dengan tajam dan dingin.

Apa yang harus kulakukan setelah ini? Sepertinya aku memang ditakdirkan mati perlahan dari dalam oleh Sang Dewa.

"Jika begitu... untuk apa kau membawaku ke sini? Bukankah seharusnya jika kau tak berniat membantuku, lebih baik biarkan saja aku mati di tengah badai salju!!" Seruku berapi api.

"Oh, itu sih... karena, jika aku membiarkannu mati disitu, yang ada musim malah makin parah, kan? Jangan berpikir macam macam hanya karena aku membawamu ke sini."

"Tapi saat itu kau mengatakannya! Bilang jika aku butuh bantuanmu, aku bisa datang kapan saja!"

Dia bilang seperti itu kepadaku. Jangan jangan dia hanya membual? Bersikap seolah olah baik padaku padahal dia tak berniat membantuku sama sekali, bukankah itu hanya akan menjatuhkanku?

"Tapi tentu saja ada batasannya, ini sudah di luar jangkauanku."








•*•*•*•

Stay tune dan tinggalkan jejak kalian dengan memberi bintang 🌟⭐️

•*•*•*•

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang