"Bye Haru-chan." Yosano melambai kepadaku lalu keluar melalui pintu depan."Laporan yang kau tulis teliti dan efektif. Terima kasih untuk hari ini." Kunikida tersenyum, lalu menyusul Yosano.
"Daah, Haru-san." Kemudian Naomi, Tanizaki, dan Kenji.
Kyouka dan Atsushi melambai sembari tersenyum lebar sebelum akhirnya ikut keluar.
Hingga lagi lagi hanya tersisa aku dan Dazai di dalam. Ia melingkarkan lengannya pada leherku, menyandarkan kepala pada bahuku. Napasnya yang hangat terasa begitu menggelitik.
"Jadi setelah kau menghukumku, kita jadi jalan jalan, hmm?"
"I-iya, tentu saja." Aku menepis lengannya kemudian melangkah menuju pintu. Mencegahnya bergelayut lebih jauh. "Ayo, nanti terlalu larut."
Tingkah Dazai akhir akhir ini bertambah parah. Dengan seenaknya kapanpun ia bisa memelukku, bermanja manja dan bermalas malasan. Bahkan tak jarang saat aku terbangun di pagi hari, ia tertidur pulas dengan kepalanya berada di leherku. Tingkahnya selalu membuatku terkejut dan terkadang risih, namun juga membuat jantungku berdetak tak karuan.
Pada akhirnya di sinilah kami. Menikmati matahari terbenam dari bangku taman yang menghadap lautan. Harmoni ombak yang berdebur di bawah pagar berpadu indah dengan riak air yang berwarna jingga. Mengajak siapapun yang melihatnya untuk merenung menghayati waktu.
Dazai terpaku dengan apa yang ia lihat. Seakan matahari turut mengajaknya menenggelamkan diri, meninggalkan segala keresahan yang ada di dunia. Membiarkan bulan yang sementara menggantikannya meluluhkan malam.
"Aku ingin menjadi matahari yang selalu berhasil membunuh dirinya sendiri."
Nah kan, yang benar saja. Itu yang ia pikirkan.
"Kau hanya akan berputar putar dalam kebosanan. Mati, hidup, mati, lalu hidup lagi. Melihat segalanya dengan sekali lalu tanpa merasakan apapun." Aku menghela napas.
Hidup ini sangatlah lucu. Pria ini, ingin sekali mati namun tak juga mati mati. Diriku, ingin sekali hidup lebih lama namun waktu yang kupunya tak banyak lagi.
"Kita sangat berbeda, ya." Ujarku lagi. "Apa jadinya kalau kita bertukar jiwa?"
"Kalau kita melakukannya, kita tak akan melakukan usaha apapun untuk belajar menerima apa yang tidak kita sukai." Dazai menoleh. Ia mendekatkan kepalanya ke wajahku lalu tersenyum. "Kita sebenarnya mirip. Karena itu, mempelajari dirimu sama dengan mendalami diriku."
"Itukah tujuan utamamu membantuku?"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Mana ada manusia asing yang rela melibatkan dirinya sejauh ini tanpa tujuan. Mereka pasti mencari keuntungan."
Dazai sekilas terlihat menahan tawa. "Kalau kukatakan awalnya aku hanya bermain main, apakah kau percaya?"
Mulutku terkatup rapat. Bermain main? Itu terdengar gila. Segampang itu ia mengucapkannya bagai masalah yang ia ciptakan semata mata memecahkan piring di lantai.
"Untuk pria segila kau, Dazai, aku tidak bisa untuk tidak percaya. Tapi, kenapa?"
"Aku bosan."
"Hanya itu?"
"Ya. Tidak lebih." Jawabnya santai.
"Lalu, sekarang?"
Dazai tak langsung menjawab. Ia mencari cari sesuatu yang dapat ia gapai oleh penglihatannya, lantas menunjuk sebuah pohon rindang di samping tempat kami berdua duduk. "Kau lihat pohon itu? Daunnya sangat rimbun."
Aku mengerutkan alis, tak mengerti. Tak bisa menebak ke arah mana ia akan membawa percakapan ini.
"Awalnya pohon itu hanyalah bibit, ia tumbuh demi kelangsungan hidupnya sendiri. Perlahan lahan akarnya menjalar, membuatnya lebih leluasa mencari air. Perlahan lahan, dahannya meninggi demi memudahkannya mendapat cahaya matahari. Ia tumbuh semakin besar untuk memenuhi kebutuhannya. Semakin kokoh, dedaunannya semakin rindang hingga tanpa sadar banyak orang yang menjadikannya tempat berteduh. Menikmati hawa sejuk yang ia tiupkan." Dazai berhenti sejenak, mengambil napas.
"Lama kelamaan, pohon itu menyadari bahwa kehadirannya tak hanya kehadiran. Bahwa pertumbuhannya tak hanya pertumbuhan. Ia semakin menyadari dirinya sebagai pohon yang berdiri kokoh demi menyebarkan hawa sejuk, memberinya alasan lebih untuk terus bertahan hidup. Ia semakin menyadari dirinya pun dibutuhkan oleh orang orang yang singgah di bawah dahannya. Dan kau adalah salah satu dari orang orang itu, [Name]."
"Tapi, kau tetap saja menginginkan kematian." Sangkalku. Terdengar pahit. "Aku bukanlah apa apa untukmu, walaupun kau adalah apa apa untukku."
Waktu itu ia berkata, bahwa ia telah jatuh padaku. Pada malam itu, ia mengatakannya dalam pelukanku. Kami berkata akan menikmati sisa masa masa hidupku. Seharusnya aku benar benar menikmatinya saja, tidak menimbulkan masalah apapun karena memang seperti inilah yang ia inginkan. Tapi hatiku tak mampu membohongi perasaanku sendiri.
Dazai mengangkat daguku, mengusap sesuatu di kedua pipiku. Baru kusadari saat itu juga bahwa airmataku telah mengalir.
"Siapa bilang? Kau sangat berarti dalam kehidupanku. Kau datang, memberiku dan detektif agensi banyak sekali warna." Tatapannya jauh melihat ke dalam diriku. "Mungkin memang sampai saat ini aku masih menjadi maniak bunuh diri, namun kehadiranmu memberiku petunjuk untuk semakin dekat dengan kehidupan. Perlahan lahan, [Name], kau telah menumbuhkannya."
Aku terisak. Tak tahu apakah ini airmata kesedihan atau rasa haru. Sensasi yang menjalar di seluruh tubuhku benar benar hidup. Emosi manusia ternyata sangatlah indah. Lebih dari apa yang pernah kubayangkan sebelumnya.
"Dazai."
Ia mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.
"Mungkin terdengar egois, tapi aku benar benar ingin kau selalu ada bersamaku."
"Itu tidak egois sama sekali, [Name]."
"Tapi, apakah aku pantas merasakannya?"
Senyuman Dazai mengalahkan hangatnya semburat cahaya matahari yang meredup. Saat itulah senyumannya memberiku perasaan hidup. Berkali kali lipat membuncah hatiku yang semakin haru.
"Kau selalu pantas untuk itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasyManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...