Dazai bilang, bertahun tahun lamanya ia bekerja di Agensi Detektif Bersenjata, tak pernah sekalipun ia melihat pertempuran melawan Port Mafia terjadi sebesar ini.Buumm!!!
Dentuman besar melemparkanku dan Dazai ke luar jendela. Kami sempurna tersungkur di rerumputan.
"Hey, apa kau sudah tahu jawabannya, Nona?"
Chuuya keluar dari kepulan asap dengan satu tangan yang menahan topinya.
"Ah, kau," Erang Dazai.
"Maaf, Pria Jalang. Aku bertanya pada Nona di sebelahmu." Chuuya menginjak tangan Dazai hingga bergemeletak. Ia menarik daguku, wajah kami hanya terpaut beberapa senti. Tatapan kelabunya jelas merendahkanku.
Aku tidak menjawab walaupun aku tahu apa yang ia maksud.
"Berkacalah pada dirimu sendiri, Pendek." Umpat Dazai.
Pancaran cahaya merah menyelimuti seluruh tubuh Chuuya bagai kobaran api.
"Apa kau bilang??" Chuuya yang menarik tangannya tiba tiba membuat daguku terhempas ke tanah.
Sebelum sebuah ledakan meletus kembali, Dazai berbisik, "pergilah ke Istana Awan,"
"Ken-"
Ia menendang tubuhku ke samping. Tepat setelah itu ledakan besar menghanguskan tanah diantara kami berdua.
"Kaulah kunci keseimbangan, Harucchi!! Aku berjanji setelah ini akan menjadikanmu manusia kembali!" Seru Dazai. Mata cokelatnya menghilangkan keraguan yang sejenak terpancar dari wajahku. Sepasang sayap merah muda mengembang dari punggungku. Cepat aku melesat ke langit, menuju Istana Awan.
Buuumm!!!
Apapun maksudmu, Dazai, namun tatapanmu itu sangat meyakinkan.
Gumpalan awan yang kutembus terasa menyesakkan. Lembab dan dinginnya air yang mengenai tubuhku seakan menjadi percikan api. Entah itu efek jantungku yang bertalu-talu ataupun terik matahari yang membuat awan tak lagi terasa menyejukkan.
Lantai teras Istana Awan yang dingin terasa kontras dengan suhu tubuhku yang panas. Langsung kudobrak pintu tanpa basa basi.
Aki, Fuyu, dan Natsu berdiri berjejer tepat di depan pintu. Mereka terkejut menyadari yang datang bukanlah Sang Dewa.
"Tak pantas sekali seorang peri kabur dari tugasnya." Natsu angkat bicara. Niatku untuk meraih bahunya urung seketika.
"Musim semi belum berakhir, kenapa kau kembali?" Mata cokelat Aki menatapku lurus.
Kenapa aku kembali? Aku juga tak tahu! Jika benar aku kunci keseimbangan dunia, lantas, apa yang harus kulakukan? Dazai yang sedang melawan Chuuya habis habisan di bawah sana tak bisa memberiku petunjuk.
Berpikir keras, Haru, berpikir keras.
Hening menyeruak. Tak ada seorangpun dari mereka bertiga yang mengharapkan jawabanku. Mereka melangkah menuju sofa masing masing yang letaknya saling berjauhan. Sofa milikku di ujung yang lain kosong, menantiku untuk mendudukinya. Sudah lama sekali rasanya aku tak menempatinya.
Aku menatap mereka bergantian dari tengah ruangan. Ternyata memang sehening dan sedingin inilah Istana Awan.
Membuatku nostalgia.
Selama ini para peri hanya terdiam duduk di sofa hingga giliran mereka tiba untuk membuat musim. Hanya sesekali ada yang beranjak dari sofa untuk membuat makanan di dapur untuk dirinya sendiri. Sisa waktu lainnya hanya mereka (termasuk diriku) habiskan dengan duduk terdiam di sofa. Hal yang terus berulang terjadi selama beratus ratus tahun lamanya.
Jika ada salah satu dari kami yang dipanggil oleh Sang Dewa, jelas itu sebuah hukuman. Namun tak ada yang peduli. Beratus ratus tahun berada di istana besar bersofa empat ini tidaklah membuat rasa kekeluargaan sedikitpun terbentuk diantara kami.
Kami tetap dingin seperti ini dari awal kami bersama.
"Aki, Fuyu, Natsu."
Mereka bertiga mengangkat kepala menatapku.
Aku menarik napas, "apa kita pernah mengobrol sebelumnya?"
Ya, aku tahu itu terdengar aneh.
"Mengobrol? Untuk apa?" Fuyu bertanya balik dengan tak acuh.
Aki bersender pada punggung sofa dengan tatapan menerawang. Rambut cokelat pendek miliknya disinari cahaya jingga yang berasal dari jendela besar di seberang dapur.
"Apa kalian tidak bosan terus seperti ini selama hampir seabad?"
Hening lagi. Natsu meluruskan kaki. Mata bulat keemasannya menatap lantai yang dingin.
"...Tidak." Jawab mereka bertiga nyaris bersamaan.
Helaan napas tanpa sadar meluncur dari bibirku. Mereka benar benar telah diperbudak total oleh Sang Dewa.
"Kalian bertiga, kemarilah."
"Untuk apa?" Protes Aki. Fuyu dan Natsu menatapku bertanya tanya.
"Ini perintah Sang Dewa." Bualku. Jika aku tidak berkata seperti itu, mereka takkan mau menurutiku.
Awalnya Fuyu ragu ragu berdiri, diikuti Natsu lalu Aki. Kini mereka bertiga telah berdiri tepat di hadapanku.
Mata mereka sangat dingin dan tak menunjukkan emosi apapun. Sihir Sang Dewa bekerja dengan sangat baik.
Kedua tanganku terentang, meraih bahu mereka lalu mendekapnya ke dadaku.
Hanya inilah yang dapat kulakukan, membiarkan kehangatan perasaanku mengalir kepada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasyManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...