#20 Mempelajari hal baru

409 84 0
                                    


Akhirnya aku hanya membalik badan dengan wajah tegang. Kuyakin Dazai di belakang sana sedang menyeringai menatapku, masih menanti sesuatu terucap dari bibirku. Tapi tatapan Kunikida sesaat menyita perhatianku dari Dazai.

"Kau tahu? Kau itu salah satu misi yang cukup merepotkan agensi walaupun tugas kami hanya mengawasimu." Kunikida menghela napas saat menatapku dari mejanya. "Yah, setidaknya kau sudah berusaha membuat Jepang kembali hangat setelah Dazai berengsek itu mengganggumu."

"Lihat, semua salju sudah mencair!" Sahut Kenji bersemangat sembari menatap ke luar jendela.

Tanizaki di sebelahnya menimpali, "Woaah, sudah lama sekali rasanya aku tidak melihat jalan yang tidak terselimuti salju."

Mereka sangat gembira dengan musim semi yang datang, tidak ada yang benar benar menyalahkanku bahkan dendam kepadaku.

Mereka semua terlalu baik.

"K-kalian semua!" Seruku tiba tiba. Percakapan semua orang terhenti, mereka menatapku. "M-maaf aku sudah membuat kekacauan dan merepotkan kalian..."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik-

"Hahahaha!!"

-Dazai tertawa.

Sebuah botol air mineral raksasa mendarat dengan indah di kepalanya.

"Setelah kau buat kami menerjang badai salju karena ulahmu, kau malah tertawa??" Yosano mengangkat satu kakinya pada meja di hadapan Dazai. "Akan kubuat kau menyesal!"

Berbagai macam benda melayang ke wajah Dazai seiring seruan terakhir Yosano. Seisi agensi benar benar kompak melancarkan serangan membabi buta kepada orang aneh itu.

Atsushi yang menghindar dari pertempuran merangkak mendekatiku, "Haru-san, tenang saja, walaupun tadi itu merepotkan namun mengawasimu memang sudah kewajiban kami."

Pada akhirnya lempar lemparan itu terhenti, wajah Dazai sudah babak belur.

"Kalian jahat sekali kepadaku~~" Lenguhnya seperti sapi. Dazai meringkuk di sofa dengan tangis yang dibuat buat. Jika dilihat lihat lagi, wajah lelaki itu sekarang benar benar menjijikan.

"Nah, Haru-san, tidak usah merasa bersalah." Tanizaki tersenyum kepadaku sembari membersihkan sisa kekacauan.

"Selama kau mengembalikan musim, itu tidak masalah." Timpal Kenji dari pinggir jendela.

Mereka tersenyum kepadaku.

Benar, mereka terlalu baik.

Tapi ada satu hal lagi yang belum kulakukan.

Aku berjalan mendekati Dazai yang masih meringkuk di sofa dengan dramatis, "Dazai, aku... minta maaf padamu juga."

Ia langsung bangkit dari ringkukannya dengan berseri seri. "Oh, ya? Untuk apa?"

"U-Untuk sikapku tadi, kuakui ucapanmu benar."

Sial, aku benar benar mengaku kalah tepat di hadapannya!

Tapi memang ini cara terbaiknya, sekarang rasanya aku ingin menenggelamkan wajahku diantara awan awan.

Dazai bergeming, tersenyum samar saat tatapanku beradu dengannya.

"Bagus sekali kau bisa menyadarinya secepat itu. Kau berkembang dengan baik, Harucchi."

Itu... benar benar perkataan yang tak pernah aku kira akan keluar dari mulut Dazai.

...Lalu, aku harus berkata apa?

Aku hampir menghentikan tangannya yang mendarat di puncak kepalaku. Awalnya aku ingin mengelak, namun kehangatan menjalar dari tangannya yang terulur.

Ia tersenyum layaknya manusia.

Dazai membuatku bertanya tanya apakah dia benar seorang manusia atau bukan, tapi sekarang dia seperti berdiri diantara keduanya.

"Kau itu... manusia atau bukan?" Tanyaku lirih.

"Tentu saja aku manusia." Ia tertawa, "Satu satunya makhluk yang bukan manusia sejati di sini adalah kau, Nona."

Ia menarik tangannya dari puncak kepalaku lalu menghempaskan dirinya kembali ke sofa. Tanpa sadar aku ikut duduk di sebelahnya.

"Sepertinya aku perlu meluruskan persepsimu itu." Lanjutnya.

"Persepsi tentang manusia?"

"Ya." Ia menyender pada sofa lalu meletakkan kedua tangannya di balik kepala, "Jika kau bertahan pada persepsimu itu, semua manusia pasti memiliki sisi 'manusia' dan 'tidak manusia'-nya."

"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" Aku meluruskan kedua kakiku, baru kusadari ujung jemari kakiku berwarna ungu.

"Yang kau maksud dengan 'manusia' itu adalah orang yang mempunyai rasa simpati, dan 'bukan manusia' adalah orang yang dibutakan oleh egoisme yang tinggi dan tak berperasaan. Bukan begitu?"

Sepertinya yang dikatakan Dazai tidak salah.

"...Mungkin bisa dibilang begitu." Jawabku singkat. "Eh, sebentar, apa itu simpati?"

Dazai menjelaskan dengan sabar. "Orang yang peduli dengan keadaan orang lain, atau bisa dibilang memiliki rasa manusiawi."

Berarti aku itu peri yang tidak manusiawi, ya?

"Kau sepertinya bisa memahami sudut pandangku, Dazai."

"Tentu saja, jangan ragukan aku!" Tangan kanannya menepuk dadanya dengan bangga.

Aku agak menyesal mengatakannya.

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang