#16 Tulang yang bergemeletak

489 85 1
                                    


Akutagawa terus membawaku naik turun bangunan tinggi, melewati gang sempit dan jalanan besar.

"Kau tahu, Akutagawa? Kalau kau begini terus aku semakin ingin bunuh diri." Akutagawa melirikku sekilas di tengah loncatan loncatannya saat mendengar perkataanku. Alisnya masih berkerut dalam dan dingin seperti pertama kali aku bertemu dengannya.

"Port Mafia takkan membiarkanmu melakukannya." Jawabnya singkat dan tak acuh.

"Kenapa? Aku kira aku dibawa ke sana untuk dieksekusi mati karena telah mengacaukan dunia."

"Justru kebalikannya. Kau akan dimanfaatkan oleh Port Mafia untuk memeras pemerintah."

Udara dingin menampar nampar pipiku dengan perih. "Darimana mereka tahu peri sepertiku itu nyata?"

Lama Akutagawa terdiam, lalu menghela napas pelan, "Simpan semua pertanyaanmu nanti, aku malas menjawabnya."

"Kau dingin sekali."

"Kau lebih dingin dariku."

"Kau kira begitu?"

"....Entahlah." Ia terbatuk batuk pelan.

Sebenarnya aku bilang begitu hanya karena para detektif berkata kepadaku seperti itu. Akutagawa terlihat agak mirip dari kriteria 'dingin' yang mereka katakan.

Terbersit sesuatu di benakku.

"Akutagawa, apakah kau manusia?"

Ia terbatuk semakin keras, "jelas jelas aku ini manusia."

"Tapi kau dingin."

"Manusia juga ada yang dingin, bodoh."

Aku terdiam. Jadi, apa sebenarnya definisi dingin?

"Akutagawa, dingin itu apa?"

"Baru saja tadi kau bilang aku dingin." Ia masih terbatuk, "kau seperti anak kecil bodoh yang bertanya."

Masih banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan, namun Akutagawa terlihat batuk semakin sering dan keras. Ia akan kesusahan menjawabnya dan perkataannya takkan jelas, jadi aku lebih memilih diam sepanjang sisa perjalanan.

Pada akhirnya kami sampai di sebuah ruang bawah tanah yang pengap dan hangat. Lampu gantung berwarna kuning terlihat remang remang menerangi lorong yang panjang.Seorang gadis berambut pirang dengan pakaian serba hitam menyambut di depan sebuah pintu besi besar di ujung lorong.

"Akutagawa-senpai! Syukurlah kau sampai dengan selamat." Sambutnya dengan lega. Ia terdiam sejenak saat melihatku, "kau, peri musim semi, ternyata benar benar nyata!"

Aku hanya diam. Matanya memancarkan sesuatu yang sulit kupahami.

"Ikat dia, Higuchi, terutama bagian punggungnya." Perintah Akutagawa.

"Baik!"

Akutagawa menghempaskanku ke lantai dengan keras hingga aku merintih. Belum sempat aku mengembangkan sayap agar dapat kabur, Higuchi terlebih dahulu telah mengikat leher hingga pinggangku dengan tali besar. Aku tak mengerti untuk apa dia mengikat leherku juga, jelas ikatan pada bagian itu tak berguna dan hanya membuatku sulit bernapas.

Akutagawa mengetikkan sesuatu pada layar kecil di sudut pintu besi, sedetik kemudian pintu itu perlahan terbuka.

Udara dingin menghembus samar dari dalam. Ruangan itu gelap dengan jeruji besi yang membatasinya. Perlahan beberapa jeruji besi di tengahnya membengkok ke samping, menciptakan pintu yang pas dimasuki oleh satu orang.

Higuchi mendorongku masuk, namun aku menahan tubuh dengan kedua kakiku.

"Tch, cepatlah masuk!" Bentaknya.

Suara bedebum tiba tiba menggema menggetarkan tanah yang kupijak. Higuchi dan Akutagawa sontak menoleh ke lorong yang terlihat tak berujung itu, asal suara ribut tadi.

"Pengganggu lagi kah?" Akutagawa melangkah menuju asal suara dengan waspada.

"Oi, oi~ Ini aku, Dazai."

Langsung aku menoleh. Dazai jalan berdampingan bersama Kunikida dengan santainya.

"Maaf ya, penjaga di depan tadi dibuat tidur siang sebentar oleh Kunikida." Lanjutnya dengan seringaian.

Mereka datang! Bagaimana bisa mereka menemukan tempat ini?

Higuchi mengambil pistol di pinggangnya lalu mengarahkannya pada Dazai dan Kunikida, sedangkan tangan yang satunya masih menggenggam lenganku dengan erat. "Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?!"

"Dengan adanya Ranpo-san semua menjadi mudah bagi kami." Jawab Kunikida dengan wajah serius.

"Rashomon !!"

Rashomon milik Akutagawa langsung berkobar kobar menerjang mereka berdua. Cepat Dazai berlari ke arah Akutagawa bersama Kunikida, tanpa rasa takut sedikitpun di wajahnya.

"Ningen shikkaku !!"

Terus Dazai berlari dengan rashomon Akutagawa yang lenyap begitu saja saat menyentuhnya. Higuchi melepaskan tembakannya,

Dor!

Kunikida menghindar dengan gesit, ia mengangkat pistol yang ia genggam.

Dor! Dor!

"Uhuk-"

Batuk Akutagawa tercekat saat ia sadari Dazai telah meringkusnya lalu membantingnya ke tanah. Kesadarannya sempurna menghilang.

Tembakan Kunikida mengenai lengan dan kaki kanan Higuchi telak, pistol di genggaman gadis itu jatuh ke tanah.

Langsung Kunikida meraih lenganku, membuatku tersadar dari apa yang baru saja kulihat.

Semuanya terjadi dengan sangat cepat dan hebat.

Tanpa berkata apa apa, Kunikida melepas semua tali yang mengikatku lau menarikku meninggalkan pintu besi yang masih terbuka. Aku menoleh ke belakang, mengingat hukuman Sang Dewa saat kulihat ruangan gelap itu. Dazai mengekor dari belakang.

Aku merintih tertahan. Sakit pada pinggangku saat Akutagawa melilitku masih bersisa.

"He~ sepertinya kau susah berjalan." Dazai menyejajariku, Kunikida melirik ke arahku.

"Maaf, aku menarikmu." Kunikida melepaskan tarikannya dengan canggung, "Dazai, gendong dia sampai agensi."

"Yosh! Ya sudah, tak ada cara lain."

Tanpa aba aba, Dazai telah mengangkat tubuhku. Tulang tulangku bergemeletak.

Dia benar benar menggendongku! Aku sampai terkejut karena kukira ia takkan pernah mau melakukannya.

"D-Dazai, jangan tiba tiba!"

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang