#29 Semua telah berakhir

444 78 4
                                    


Genggaman tanganku pada bahu Dazai melemah. Sempurna diriku terhempas diantara awan awan. Tak ada sekalipun niat mengembangkan sayap terlintas di kepalaku.

Senyuman lembut Dazai tak lagi hangat, ekspresinya mengeras dan mendingin. Tak ada lagi pancaran kepercayaan pada matanya.

Jiwa manusia Dazai telah menguap bersama sinar jingga matahari.

Angin begitu riuh menampar tubuhku. Gemintang berpendar indah memenuhi langit yang dingin. Cepat atau lambat tanah pun akan membunuhku.

Aku tak peduli. Mati saja. Inilah yang terbaik untukku setelah lelah menyimpan harapan menjadi manusia selama ratusan tahun. Kini semuanya terasa hanya lelucon bagiku.

"Dengan percaya pada dirimu sendiri, semua ini akan berakhir."

Apa lagi yang harus kupercaya dari tubuh setengah boneka ini?



















[Name]-chan.






















Ranting pepohonan yang tajam menggores pakaian. Rerimbunan daun menenggelamkanku. Tanah menghantam tanpa ampun. Kunikmati sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuh.

Pandanganku buyar. Namun dengan sisa kesadaran, mataku menangkap bayangan manusia yang berserakan di depan gedung Port Mafia. Anggota agensi berada di sana.

Tatapan Naomi kehilangan sinarnya. Tak ada lagi Naomi yang seringkali bergelayut manja padaku.

Kunikida, Kyouka, dan Yosano menatap tanah dengan dingin. Tak ada ekspresi apapun yang terpancar dari wajah mereka.

Buumm!!!

Tanah bergetar, dari timur terdengar bunyi ledakan yang sangat besar.

Itu helikopter yang Dazai dan Atsushi naiki. Sempurna hancur berkeping keping menghantam tanah.

Segalanya benar benar telah terbakar habis.

Rasa sakit yang luar biasa perlahan menghilang. Kesadaranku mulai terkumpul kembali.

"Kau lupa, kau tak akan mati jika tidak dibunuh oleh Sang Dewa."

Chuuya berdiri tepat di hadapanku sembari berdecih. "Bos ingin bertemu denganmu di gedung Port Mafia sebelum kau dibawa kembali ke Istana Awan."

"Tidak."

"Heh? Kau berani melawan?"

Kuangkat kepalaku susah payah, menatapnya dengan tajam. "Tidak akan."

Mata kelabunya terkesiap melihat airmataku yang masih mengucur.

"K-kau," ia tercekat. "Kenapa sihir Sang Dewa tidak mempengaruhimu?"

Airmataku berpendar. Menetes lalu menjalar ke tanah. Sempurna diriku dilingkupi lingkaran cahaya merah muda.

Sepatu hitam Chuuya mundur beberapa langkah dariku. Matanya waspada mengawasi pergerakan cahaya yang kian menjalar.

"Apa yang-"

Pyaashh!!!

Kurasakan gumpalan energi meledak ledak di dalam rongga dada. Sayapku mengembang dan membesar, lebih besar dari tubuhku sendiri seiring dengan diriku yang terangkat ke udara.

Aku tak peduli dengan apa yang terjadi padaku sekarang. Yang ada pada pikiranku hanya satu,

Mati. Aku ingin mati sekarang.

Sekarang aku mengerti bagaimana sesaknya perasaanmu saat kau gagal bunuh diri, Dazai.

"Aku ingin mati!!" Seruku di sela airmata yang masih terus mengalir tanpa henti. "Bawa Sang Dewa ke sini lalu bunuh aku!!"

Chuuya mematung melihat diriku yang mengerikan. Ia kehabisan kata kata.

Entah kenapa aku bisa terlihat olehnya.

"Kumohon, Chuuya!!"

Lelaki itu mengepal kedua tangannya dengan kuat. Ia menatapku tanpa berbicara.

Ledakan energi masih terus berlanjut di dalam tubuhku. Aku tak mengerti ini sebuah kekuatan atau bukan, namun aku tak peduli.

"Ratusan tahun aku menderita, menyimpan harapan bahwa suatu hari kehidupanku akan lebih baik." Pancaran cahaya merah muda itu berubah menjadi petir yang menyambar-nyambar langit malam. "Baru kusadari itu semua hanya omong kosong!"

Chuuya berusaha mengendalikanku dengan kemampuan manipulasi gravitasi, namun kekuatannya hanya bertahan tak sampai sedetik padaku.

"Oi, kau pikir masalahmu itu hal yang sangat besar? Berhentilah mengasihani dirimu sendiri, bodoh!!" Serunya.

Berhentilah mengasihani dirimu sendiri!

Energi yang meledak ledak di dalam tubuhku perlahan mereda.

Suara Dazai yang tegas, tenang namun menusuk. Bahkan sempat sempatnya hal itu terlintas sekilas di kepalaku.

Kuseimbangkan kedua kakiku yang menyentuh tanah.

Chuuya mendekat, ia menatapku dengan alis yang terangkat sebelah dan kedua tangan yang ia silangkan di depan dada.

"Kau cengeng sekali. Banyak hal yang harus kau khawatirkan selain harapanmu itu."

Manipulasi gravitasinya menyeret tubuhku seiring dengan ia yang mulai berjalan. Kali ini aku tidak memberontak.

"Aku saja sudah bergidik melihat semua ini, apalagi saat dunia benar benar telah kehilangan keseimbangannya."



















•*•*•*•

•*•*•*•

No Longer HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang