Kilasan cepat hitam putih layar proyeksi tua silih berganti. Menampilkan gambar keluargaku yang tertawa hangat dan bahagia. Aku terlihat ada di ujung ruang makan dengan setumpuk hadiah di genggamanku. Hari ulang tahunku yang ke limabelas.Tak ada yang kurasakan.
Mereka tersenyum, memelukku dengan hangat sembari mengusap kepalaku penuh kasih sayang. Kakak tertuaku memberikan ciuman di pipi yang membuatku menepisnya sembari tertawa geli.
Tak ada yang kurasakan.
Ayah ibuku menyuruhku membuka kado dari mereka. Aku dengan riang gembira menarik pita salah satu dus besar berwarna merah jambu, kudapati isinya adalah boneka beruang biru langit yang sangat besar.
Tak ada yang kurasakan.
Kakak keduaku berseru, kami belum sempat meniup lilin dan memotong kue. Dengan cepat kakak tertuaku menyodorkan kuenya dengan lilin yang berpendar indah di atasnya berjumlah lima belas; sesuai umurku.
Tak ada yang kurasakan.
Kami bernyanyi riang, ditutup dengan aku yang menghembuskan napas, membuat lilin itu padam apinya satu persatu. Menyisakan asap yang meliuk liuk menuju atap dapur. Semua orang bertepuk tangan gembira.
TAK ADA YANG KURASAKAN!!
Layar proyektor tua itu pecah berserakan. Gambar gambar yang ia ciptakan masih berpendar tersendat sendat walau telah berkeping keping berserakan di lantai yang dingin. Aku membanting proyektor itu ke dinding.
Habis sudah. Tak ada lagi yang tersisa.
Seluruh ruangan gelap gulita.
[Name], ke mana kau? Kami semua mengkhawatirkanmu!!
Ibu berseru seru di sepanjang jalanan sepi di malam hari yang dingin. Ayah memegang pundaknya.
Kembalilah nak, ibumu sangat khawatir!!
Kedua kakakku mencetak banyak poster dengan wajahku yang tertawa riang di dalamnya.
[Name], kembalilah! Apa yang membuatmu pergi? Apa kasih sayang kami untukmu masih belum cukup?
Bunga sakura bermekaran, kelopaknya satu persatu tanggal terbawa angin. Udara hangat, dengan aroma bunga warna warni.
Musim semi tiba.
Di manapun kau berada, [Name], entah kau masih bernyawa atau tidak, setiap hari aku akan selalu berdoa untukmu.
Aku yang tengah memekarkan bunga menatap mereka jeri. Perih.
Ini semua salahku.
Ayahku meletakkan seikat bunga di hadapan fotoku di ruang keluarga.
Ini semua salahku.
Kamarku masih seberantakan saat pertama kali aku meninggalkannya. Boneka beruang biru langit masih setia terlentang di atas kasur.
Ini semua salahku!
Ibu meninggal, disusul ayah lalu kakakku.
Aku menjambak rambutku, tersungkur di atas lantai yang gelap nan dingin.
HENTIKAN!!
Hal itu terus berlangsung hingga penghujung bulan maret tahun berikutnya, hingga air mataku berubah menjadi darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasiaManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...