"Lalu, apa yang harus kulakukan?""Tak ada. Karena aku tak berniat untuk memberikannya padamu~"
Darahku naik lagi. Hampir saja aku melemparkan cangkir di genggamanku ke seringaian anehnya itu.
Terdiam sejenak, aku memikirkan cara lain.
"Kalau begitu, aku ingin kau membantuku agar aku bisa menjadi manusia lagi." Putusku.
Tak salah kan apa yang kulakukan?
Siapa tau lelaki berkekuatan super ini bisa melepaskanku dari kekangan Sang Dewa, kan?
Awalnya aku kira dalam hidupku hanya terdapat dua pilihan ; mati raga atau jiwa di tangan Sang Dewa. Sepertinya membuka opsi ketiga tidaklah terlalu buruk ;
Menjadi manusia kembali.
"Kau yakin?" Tanyanya. Aku menoleh, menatapnya tajam.
"Tentu saja yakin. Apa aku terlihat ragu?"
"Tidak, sih."
"Yasudah. Lalu, kenapa?" Tanyaku tak sabar.
Apa dia mempermainkanku lagi? Apa hobi manusia memang seperti itu?
"Tidak bisa. Aku tak tahu caranya."
Aku menggenggam erat cangkirku yang telah kosong.
Yang benar saja!
"Jika kulihat, kau tidak bisa kuubah sepenuhnya menjadi manusia. Ada kekuatan lain yang di luar kendaliku. Kemungkinan besar itu kekuatan milik pengendalimu."
Jadi itu kekuatan Sang Dewa. Dazai tak bisa menetralisirnya karena si pemilik kekuatannya pun tak ada di sini. Bagaimana caranya agar Sang Dewa dapat bertemu dengan Dazai?
Aku meletakkan cangkirku di atas meja di hadapanku lalu beranjak dari sofa.
"Terima kasih minumannya. Aku akan memikirkan cara lain. Sampai bertemu setahun lagi saat musim semi datang."
Itupun jika aku tak dibunuh oleh Sang Dewa.
"Dengan senang hati, nona."
Aku membanting pintu apartemennya lalu menjentikkan jari. Musim semi telah usai.
Aku terbang kembali menuju istana awan, bersiap mendapat amukan Sang Dewa.***
Istana awan mulai terlihat. Dari luar saja sudah dapat kurasakan aura tak mengenakkan yang menguar. Sepertinya Sang Dewa sedang berkunjung karena pintu istana terbuka lebar.
Aku mendarat tepat di teras istana lalu menghilangkan sayapku dengan sekali jentikan. Sayapku melayang hilang bagai tertiup angin.
"Haru,"
Suara mencekam dan berat menyambutku. Dengan santai aku melangkahkan kakiku masuk. Aura kematian semakin terasa pekat.
"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Dengan senang hati kuterima, Yang Mulia," Ujarku. Pria bertubuh tinggi besar dan berotot tak wajar itu menatapku dengan sepasang mata melotot mengerikannya, namun aku tak gentar.
Aku menatapnya balik dengan santai. Apa lagi yang perlu kutakutkan? Kata manusia, rasa takut muncul saat kau merasa lemah. Jika benar begitu, maka sekarang aku sedang merasa kuat.
Sang Dewa melancarkan guntur bertubi tubi ke arahku, aku dengan cepat menghindar.
"Sayangnya aku tak berniat menepati ancamanku waktu itu."
Guntur itu makin cepat frekuensinya, membuatku lengah dan terpental saat terkena salah satunya.
Tunggu,
Tak menepatinya ?
"Maksudmu apa??" Tanyaku bersusah payah saat mencoba berdiri. Guntur lain menyusul menghantam tubuhku bertubi tubi, membuatku ambruk seketika.
Ia tertawa menggelegar; tawa yang mengerikan. Namun tak lebih mengerikan dari seringaian Dazai.
"Tak mungkin aku membunuhmu, itu sangat menguntungkan untukmu. Maka aku terpikirkan cara lain untuk menyiksamu."
Rasa sakit yang menguasai tubuhku perlahan mengambil alih kesadaranku. Aku melihat seringainya yang terkesan mirip dengan milik Dazai. Wajar saja, dia memang bukan manusia.
Harapanku untuk mati, menikmati tidur abadiku, pupus seketika.
"Aku akan membawamu pada mimpi buruk tak berujung."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasyManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...