Lelaki di hadapanku memalingkan wajahnya yang dingin. Angin musim panas mengibar ngibarkan trench coat yang ia kenakan."Ada apa, Dazai?"
Semakin ia merapatkan kedua tangannya pada saku.
"Maafkan aku, Haru."
Aku menatap wajahnya tak percaya. Kuangkat kedua telapak tanganku, melihat bercak keunguan menggerogoti tanganku perlahan. Jantungku berdegup tak karuan, keringat dingin membanjiri tubuhku seketika.
"Jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi Dazai?!"
"Maafkan aku, Haru." Ulangnya. Ia masih memalingkan wajahnya, tak sanggup menatapku. Bibirnya terkatup rapat, seakan menahan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
Nyeri menjalari seluruh tubuhku dengan cepat. Aku merintih.
"Dazai!!"
"[Name], [Name]!"
Pandanganku yang kabur perlahan menajam. Wajah Dazai yang panik menyambutku. Baru kusadari jantungku berdegup kencang dan keringat mengalir deras dari sekujur tubuhku. Bayang bayang mimpi tadi menyisakan rasa takut yang luar biasa. Dazai langsung menarik bahuku setelah kududukkan diri di kasur.
Tanganku yang diselimuti lebam dan bercak kehitaman kini melingkar pada bahu Dazai. Gemetar. Tubuh Dazai terasa dingin, namun cukup untuk meredakan gemetar di seluruh tubuhku.
Dingin yang menggerayangi, raut penyesalan pada wajah Dazai, dan kegelapan yang sangat sepi. Terasa begitu nyata. Hingga diriku sendiri ragu apakah itu merupakan mimpi atau bukan. Sampai rasanya aku tak ingin melepaskan cengkeramanku pada bahu Dazai.
"Aku tak mau tidur lagi." Ujarku.
"Kau terlalu berlebihan, [Name]." Tangannya, satu satu satunya bagian tubuhnya yang hangat, kini menggenggam tanganku.
Dengan ragu kulirik wajahnya yang masih menyisakan kekhawatiran, takut suatu saat wajah itu menunjukkan penyesalan seperti di dalam mimpiku. Aku takut ia menyesal setelah mengetahui jika sebenarnya aku tak berguna untuk ditolong.
Walaupun telah menjadi manusia pun, ternyata aku menginginkan hal yang lebih dari itu. Memang, manusia itu tidak pernah puas.
"Apakah kau ingin istirahat saja di sini? Biar aku izinkan kau sehari dari agensi." Tawar Dazai.
"Tidak perlu." Kilahku cepat. Sendirian di rumah Dazai malah akan membuat pikiranku berkelana lebih liar.
Pada akhirnya kami bersiap siap, lalu sejam kemudian telah duduk di kursi agensi untuk mengerjakan tugas tugas yang harus diselesaikan secepatnya. Walaupun yang sebenarnya duduk dan bekerja itu aku, dan Dazai hanya melirikku sesekali dari sofa lalu jatuh tertidur. Tentu saja hal itu menyulut amarah Kunikida.
Setelah mengetik laporan sebuah kasus, kudapati kepala pria berperban itu telah menyentuh lantai dengan kaki menggantung pada senderan sofa. Mood-nya anjlok oleh Kunikida. Terlihat dari wajahnya yang terlipat dan poninya yang menjuntai pada lantai, bagai orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Walaupun memang orang seperti itulah dia.
"[Name]-chaan~ ayo kita main~" Rayunya dengan wajah cemberut. Sifatnya yang berubah seratus delapan puluh derajat cukup membuatku ngeri. Atau memang dia berkepribadian ganda? Tepat sampai detik ini pun, mendalami diri Dazai masih terasa sulit. Segamblang apapun ia telah menceritakan dirinya padaku.
Dan juga... sebenarnya, apa perasaannya padaku?
Wajahku memanas oleh batinku sendiri. Dan aku mengutuknya berkali kali. Tapi, bukankah memang hal itu telah terlihat jelas sedari awal?
Sekali lagi kulihat pria bodoh itu menyunggingkan senyum lebarnya padaku.
"[Name]-"
"Kerja!!" Hardik Kunikida yang entah muncul dari mana, menyeret kerah Dazai hingga pria itu terjengkang dari sofa. "Haru-san, tolong perintahkan budak cintamu ini untuk berhenti bermalas malasan!"
Tak sanggup aku menahan tawa. Lihat, terlalu tidak tahu diri aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari Dazai, ia sudah sangat baik memberiku kesempatan berada di tempat ini.
Ya sudahlah, tak ada gunanya aku memikirkan hal seperti itu. Aku harus menikmati detik demi detik hidupku bersama mereka. Ini sangat menyenangkan. Sekaligus mengusir rasa gelisahku melihat bercak kehitaman yang telah memenuhi lengan hingga ujung jari. Untunglah Dazai meminjamkan setelan berlengan panjang miliknya,setidaknya tidak membuatnya terlihat terlalu mencolok.
"Dazai!" Panggilku.
Tanpa basa basi, pria itu langsung menoleh dengan wajah ceria. "Ya, [Name]-chan ku." Jawabnya kelewat manis.
Ya Tuhan, tak sanggup kusembunyikan rasa hangat lada pipiku. "K-kalau kau tak mau mengerjakan pekerjaanmu, janji kita ke taman sore ini batal, ya!"
Kunikida yang sedari tadi masih memegang kerah Dazai, tiba tiba terjengkang saat Dazai sontak berdiri dengan penuh semangat.
"Pria sejati tak pernah membuat janjinya hancur berantakan, [Name]!" Ia langsung berlutut di hadapanku lalu membelai tangan kananku dengan hati hati bagai memegang porselen rapuh.
Kemudian, dia menududukkan pantatnya di kursi yang telah berdebu. Menyalakan komputer tua yang berdenging pelan karena termakan usia dan tak pernah terjamah. Setelah itu ia sibuk dengan tumpukan dokumen yang Kunikida berikan.
Semua orang sempat beberapa detik terdiam. Menikmati pemandangan yang bahkan lebih langka daripada pujian dari bibir seorang sachou. Ranpo dan Yosano tersenyum sekilas. Atsushi, Tanizaki, dan Naomi membatu. Bahkan Kunikida, tak dapat dipungkiri, menghela napas lega sembari melipat kedua tangannya. Bagai seorang ibu yang bangga melihat anaknya peringkat satu di kelas.
Aku hanya mampu terkikik geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Longer Human
FantasyManusia memiliki berbagai emosi yang selalu pasang surut bagai ombak. Mungkin saja aku adalah manusia yang hampir gagal, dan Dazai tak pernah sekalipun menjadi manusia. Ini semua hanya soal persepsi. [NOTE]: Ini bukan literatur karya Osamu Dazai, in...