Jika dia adalah tanah maka aku adalah langit. Dialah yang menjadi tempat tampungku. Dikala aku meneruskan cahaya matahari dengan bahagia atau menurunkan hujan kala sedih.
Aku mencurahkan semuanya kepadanya. Dari kelemahan dan juga cerita gelapku. K...
"Non, buka pintunya Non." Berkali-kali Bi Ina mengetuk pintu tapi tetap saja,
Tidak ada jawaban.
Sudah 2 hari Maya tidak membuka pintu.
Sudah 2 hari juga ia membolos sekolah.
Sudah 2 hari juga ia tidak menyentuh makanan yang ada di depan pintunya. Bahkan air.
Yang ia lakukan hanyalah meringkuk di ujung kamar dan menangis. Menggumamkan kata gue kotor berkali-kali.
Bi Ina menghela nafas kasar, ada apa dengan nonanya? 2 hari yang lalu rumah kotor dengan genangan air dan jejak kaki berlumpur juga noda merah yang mengental.
Bi Ina kembali ke dapur setelah meletakkan nampan piring dan segelas susu di depan kamar Maya.
Maya hanya diam di pojokan. Kamarnya sudah berubah menjadi bangkai titanic, hancur lebur seperti diserang tornado. Ponsel Maya pun juga sudah tidak berbentuk lantaran benda itu berbunyi terus membuatnya merasa gila dengan suara nyaring dari benda dengan logo apel termakan itu.
Luka di tubuhnya belum sepenuhnya kering, justru malah bertambah. Di sebelah Maya terdapat suatu diari berwarna hitam legam layaknya sebuah death note. Di dalamnya Maya selalu menyimpan silet yang kapanpun bisa ia gunakan.
Ya, Maya mengidap self harm. Sudah lama, sejak Sang Papa pergi Maya kecil selalu menyiksa dirinya sendiri. Entah dengan memukul kepalanya ke tembok, mengiris jari ketika belajar masak, meninju tembok hingga buku jari memerah, dan yang paling parah cutting.
Padahal saat itu umurnya masih belia. Masih berumur 10 tahun. Tapi saat itu Maya tidak tahu bahwa yang ia lakukan adalah self harm, yang ia tahu bahwa rasa sakit itu berkurang ketika ia melampiaskan segalanya. Apalagi melihat darah segar itu mengalir dari pergelangannya.
Kalian mau mengatakan Maya gila?
Caper?
Kurang kerjaan?
ABG labil?
Screw that dude!
Maya selalu sendiri. Tidak ada mama, papa, teman, bahkan sahabat. Lalu kepada siapa ia harus melampiaskan segalanya?? Jikalau ia punya teman pun temannya hanya memanfaatkan dirinya, baru ketika SMA ia bisa melihat mana teman yang tulus mana yang tidak. Tapi tetap saja, Maya terlalu takut untuk menceritakan semuanya.
Maya takut suatu saat nanti cerita itu bisa menjadi bumerang untuk menyerang dirinya.
Apalagi trauma yang disebabkan pertengkaran kedua orang tuanya ketika kecil dan berpuncak pada penceraian kedua orangtuanya saat berumur 9 yang bahkan ia ketahui secara tidak sengaja.
Itu sebabnya Papanya pergi meninggalkannya.
Sejak cutting, Maya selalu keluar menggunakan jaket, sweater, ataupun baju panjang yang bisa menutupi lengannya. Tidak pernah Maya memakai baju pendek untuk keluar. Bekas sayatan di lengan kirinya sangat terlihat dengan jelas dan mulai memudar ketika kelas 3 SMP. Tapi tetap saja, Maya menyembunyikan semua bekas itu dengan gelang dan wristband yang bertumpuk.
Maya berhenti melakukan semua itu ketika bertemu Bara.
Malaikat penolongnya.
Bara adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil menembus pertahanan di dalam hatinya. Mengulurkan tangan ketika Maya membutuhkan pertolongan dan selalu ada ketika Maya sedih.
Itu sebabnya Maya mengatakan jika ia tidak bertemu Bara Maya hanya akan tinggal nama saja. Karena Bara adalah salah satu alasan ia bertahan.
Bodoh memang, tapi Maya menyukai kebodohan itu.
Tapi dimana Bara sekarang?
Maya kembali menatap luka sayatannya yang masih basah, ia tersenyum kecil. Maya tidak pernah sekalipun menyayat lengannya tepat di nadi, karena bagaimanapun juga ia ingin hidup dan membuktikan kepada orang yang meremehkannya bahwa ia bisa sukses di masa yang akan datang. Lagipula ia hanya ingin menyalurkan emosinya, bukan berniat bunuh diri.
Dan semua itu terjadi.
Ranking yang biasanya berada di nomor 20 secara ajaib berada di nomor 1. Piala dan sertifikat menumpuk di kamar.
Maya menyukainya.
Ia bisa memandang remeh ibu yang selalu mengumpatnya, menginjak-injak harga dirinya, dan membuat dirinya babak lebur.
Mata coklat itu melirik sebuah foto yang menyembul dari buku diarinya. Tangannya mengambil lembaran foto itu dan senyumnya semakin mengembang.
Itu foto Maya dengan Papanya.
Satu-satunya harta yang ia punya.
"Tolong Maya, Pa."
Maaf aku ngebawa topik ini
Ntah kenapa menurut aku topik-topik ini penting
Bagi kalian yang merasa punya sahabat atau teman
Family
Someone's special
Please
Take care of them
Aku gatau ini selesainya di chapter berapa
Aku harap kelian kelian semwa tydack bosan
Jangan lupa bintang di pojok kanan yha
Eh aku mau gombalin kelian nih
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.