Maya terkekeh mendengar cerita sahabat-sahabatnya. Terkadang ia berpikir bagaimana bisa ia bertemu dengan para mantan pasien sakit jiwa ini?
Well that's rude Maya. They're your bestie tho.
"Lo gimana sama Bara?" Kekehan Maya terhenti dan wajah Maya menjadi datar. Entah kenapa perasaan benci terselip di hatinya begitu mendengar nama laki-laki itu. Padahal dulu ketika mendengar nama Bara pipinya akan memerah dan wajahnya akan panas karena malu.
"Pertanyaannya yang bener, gimana dia sama gue?" Balas Maya dingin. Ia tahu ada yang aneh selama hampir 2 Minggu ini. Bara tidak mengabarinya, tidak mencarinya, dan tidak berusaha untuk menemuinya.
Ia tahu ini semua ada hubungannya dengan Putri.
"Kapan Lo keluar dari rumah sakit?" Tanya Tiara.
"Secepatnya."
***
Benar apa yang dikatakan Maya, ia sengaja meminta dokternya untuk memulangkan ia lebih cepat. Hasilnya ia berada di rumahnya malam itu juga. Tidak perduli perban masih membungkus seperempat tubuhnya dan rumah sakit yang seharusnya mengurungnya selama lebih 2 minggu. Hanya butuh 1 minggu ia bisa merasakan tubuhnya lebih baik.
Maya membuka pintu rumahnya tanpa salam. Ia berjalan dengan wajah datar menuju kamarnya. Tidak perduli ada kedua orangtuanya di ruang tamu.
"Apa kecelakaan itu membuat kamu bisu? Sampai masuk rumah tidak mengatakan apapun?" Suara khas milik Marissa membuat kedua kaki Maya terhenti. Ia menoleh dengan wajah datarnya.
Benar, Maya berusaha mengelabui semua orang bahwa ia kecelakaan. Termasuk sahabat-sahabatnya.
"Lalu bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tidak mempunyai waktu untuk menjenguk satu-satunya anak Anda?" Cukup sudah. Maya berhenti. Maya tidak akan berusaha mengalah. Ia sudah lelah. Bahkan rasanya bibirnya kelu untuk sekedar memanggil Marissa dengan sebutan Mama.
"Ah saya lupa, bukankah Bi Ina adalah Mama saya? Maafkan saya, saya lupa." Lanjut Maya yang membuat wajah Marissa merah menahan amarah.
"Apa maksud perkataan kamu?" Kini suara milik Beni, Papa tirinya terdengar. Maya tertawa kecil, apakah perkataannya kurang jelas?
"Saya rasa perkataan saya sudah cukup jelas, Bi Ina dan Mang Udjo adalah orangtua saya. Apakah itu kurang jelas?"
BRAK
Maya tidak terkejut. Ia masih diam di tempatnya dan memandang kedua orang paruh baya itu dengan datar. Ia tertawa dalam hati kala melihat kilatan kemarahan Marissa yang tergambar dengan jelas.
"Saya menghormati Anda, terimakasih sudah melahirkan saya di dunia ini. Terimakasih atas segala kebencian yang Anda berikan kepada saya. Terimakasih untuk tidak melenyapkan saya meskipun kebencian itu lebih besar dari kasih sayang Anda. Terimakasih atas segala uang yang Anda keluarkan untuk kebutuhan saya. Terimakasih atas segala kenangan yang akan saya simpan rapat di otak saya. Terimakasih sudah mengajarkan saya untuk menjadi orang yang sukses, sukses dalam bentuk menjadi orangtua yang lebih baik ke depannya. Terimakasih. Saya tidak akan mengganggu kalian lagi. Saya akan membalas semuanya nanti." Satu minggu di rumah sakit membuat Maya semakin yakin dengan keputusannya. Ia tidak akan merepotkan kedua orangtuanya lagi. Ia akan belajar mandiri. Ia tidak butuh rumah disaat tidak ada orang yang memikirkannya. Kedatangannya ke rumah hanya untuk membereskan barang-barangnya dan pergi dari sini.
Marissa dan Beni terkejut. Bahkan kedua tubuh orang itu menegang, tetapi dengan cepat mereka merubah ekspresi mereka dan diam. Sungguh, Marissa bahkan tidak bisa mengatakan apapun. Bibirnya tertutup rapat seperti sudah diberi lem perekat.
Maya tersenyum. Untuk pertama kali di depan orangtuanya setelah belasan tahun lamanya. Senyum tulus tanpa sandiwara. Senyum yang sejak dulu terkubur di dalam hatinya. Senyum yang mengatakan bahwa semuanya benar-benar berakhir.
"Aku pergi, Ma, Pa."
I'll wait for ur vomment guys!
Jangan bosen baca cerita aku yha:')
Have a nice reading for the next chapter
Maapkeun jika cerita ini freak
Yang nulis aja freak
Apalagi tulisannya
Hehe
Lots of love
-ABS Jungkook
26 Juli 2018-REVISI-
2 April 2020
![](https://img.wattpad.com/cover/145767619-288-k977186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophile ✅[COMPLETED]
Teen FictionJika dia adalah tanah maka aku adalah langit. Dialah yang menjadi tempat tampungku. Dikala aku meneruskan cahaya matahari dengan bahagia atau menurunkan hujan kala sedih. Aku mencurahkan semuanya kepadanya. Dari kelemahan dan juga cerita gelapku. K...