Thirty Two

6.7K 507 34
                                    

Bara berlari dengan cepat di koridor rumah sakit. Jantungnya berdetak dengan kencang seakan ia telah berlari maraton. Wajahnya pucat dengan keringat dan juga tangan yang dingin. Otaknya berusaha memutar kalimat yang ia dengar saat pertama kali ia mengangkat panggilan suara Tiara.

"Maya kritis."

Demi Tuhan.

Saat itu juga Bara berlari ke parkiran, meninggalkan studio berlatihnya karena beberapa hari lagi akan ada konser yang harus ia datangi.

Dengan kecepatan layaknya orang gila ia berkendara tanpa peduli dengan keselamatannya sendiri. Bayangkan saja, jarak yang seharusnya ditempuh dengan waktu 30 menit bisa tercapai dengan waktu 15 menit kurang. Bahkan ia hampir menabrak beberapa pengendara tadi.

Begitu sampai di depan ruangan Maya, Bara berhenti. Ketiga temannya datang dan menatap Maya dengan tangis yang meledak.

Jangan tanyakan orang tua Maya, kedua pasangan itu pergi ke luar negri yang Bara tidak ingin tahu kemana. Kalau perlu ke Kutub Utara saja sekalian hilang dimakan beruang putih atau ke padang pasir agar hilang ditelan pasir!

"Maya?" Tidak ada lagi suara yang tegas, kuat, dan rendah. Yang ada keluar hanyalah suara keputus asaan, lirih, dan sakit.

Ia tidak percaya, Maya membuka matanya. Tapi kenapa teman-temannya menangis? Bukankah seharusnya mereka bahagia temannya yang berbulan-bulan koma akhirnya bangun?

"Bara," Maya membalas Bara dengan senyum kecilnya. Perut Bara melilit kala suara Maya benar-benar pelan dan lirih.

Itu bukan suara Maya-nya.

Yang ia tahu suara Maya tegas dan dingin. Bukan seperti orang yang tercekik.

Bara berjalan mendekat dan detik itu juga ia bersimpuh di samping ranjang Maya. Melihat keseriusan diantara dua sejoli itu ketiga perempuan itu akhirnya memilih keluar dengan berat hati.

"Maafin gue May, please. Gue salah, gue brengsek, gue bajingan. Pukul gue May, bunuh gue kalo itu bisa ngehapus luka Lo. Please May, gue sayang sama Lo. Maafin gue May." Tangis Bara pecah seketika. Ia tidak bisa menahannya lagi. Melihat Maya sadar sudah membuat hatinya lebih baik, tetapi begitu sadar kondisi Maya yang didorong dengan alat-alat rumah sakit justru membuat hati laki-laki itu terhimpit.

"I'm fine Bar, it's okay. Semua sudah berlalu, jangan terlalu dipikir oke?" Balas Maya sembari mengelus rambut Bara dengan kasih sayang.

Ya Tuhan, ia sungguh menyayangi laki-laki di depannya ini.

"Akh!" Maya menjerit pelan kala sakit menyerang tubuhnya.

"May!" Baru saja Bara akan menekan tombol di dekat ranjang, tangan pucat itu memegangnya. Ia menggeleng pelan.

"Aku gapapa," realitanya sakit itu justru menyebar ke seluruh tubuhnya bahkan ia bisa merasakan sampai ke dalam tulangnya. Seakan seluruh tubuhnya tengah diremukkan oleh sesuatu yang keras.

Tapi sekali lagi, wanita adalah makhluk yang kuat. Bukan kuat fisik, tetapi kuat dalam mempertahankan sandiwaranya.

Dengan perlahan Maya melepas genggaman tangannya pada Bara.

Tidak bisa.

Ia tidak kuat.

Ia lelah.

Terlalu lelah.

"Bara, dengerin aku." Ucap Maya dengan pelan. Sakit yang menyerang membuat hampir seluruh tubuhnya terasa mati. Ia bersyukur tadi ia sempat menggenggam tangan Bara bahkan mengelus rambut Bara. Ia tahu, ia tidak bisa melakukan hal itu setelah ini.

Semuanya telah berakhir.

Gadis itu hanya bisa tersenyum lemah. Ia sudah tidak bisa apa-apa. Seluruh peralatan, selang, dan tabung itu menghambat apapun yang biasa ia lakukan.

Untuk bernafas saja ia sangat bersyukur.

Ia hanya bisa diam dan tersenyum disaat ia ingin tersenyum. Tidak bisa lagi ia menggenggam tangan besar itu, memeluk tubuh hangat itu, ataupun bahagia hanya karena gombalan kecil.

Perlahan bibir gadis itu terbuka, sedikit demi sedikit dengan sebuah paksaan. Hingga akhirnya terdengar sebuah kalimat yang bahkan bisa membuat siapapun terpukul dengan itu.

Sebuah kalimat sederhana namun cukup mencangkup seluruh cerita yang sudah ia buat bersamanya.

Kalimat yang keluar dengan suara yang mampu membuat laki-laki bertangan hangat itu menangis tanpa memikirkan siapa jati dirinya.

"Terimakasih, maaf untuk semua. Selamat tinggal."

THE END






Ga deng

Tinggal epilog

TAPI GUE SERIUS.

ABIS NIH CERITA.

COY SENENG BANGET DAH.

The truth, i hate sad ending.

But? Mau gimana lagi? Terlanjur wkwk

Finally Ya Allah, ada satu cerita gue yang tamat

Setelah berkali-kali publish cerita tapi ditarik lagi

Sebenernya gue bimbang mau bikin cerita

I'm not good at making story

As u can see

Cerita gue aneh banget

Absurd

Weird

Freak

Abstrak pake banget

I like writing but i totally bad at writing

Bahkan gue gak pede bikin ini cerita

Tapi kalo gue stuck buat apa?

Jalan di tempat?

Ga mungkin kan?

I'm trying to find my confidence

And

BOOM

This story finally end

Yeah tinggal satu part lagi si

Untuk Extra story i don't think that will be nice

Gantinya akan ada story yang gue garap

I think that will be fan fiction

And Jungkook will be the main character

Atau kalian minta teen fiction lagi?

Atau romance?

OKAY DARIPADA BANYAK BCT W PAMIT

DON'T FORGET TO VOMMENT(S)

I LOVE U

SO MUCH

-REVISI-
13 JUNI 2020

Pluviophile ✅[COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang