Bara berlari dengan cepat di koridor rumah sakit. Jantungnya berdetak dengan kencang seakan ia telah berlari maraton. Wajahnya pucat dengan keringat dan juga tangan yang dingin. Otaknya berusaha memutar kalimat yang ia dengar saat pertama kali ia mengangkat panggilan suara Tiara.
"Maya kritis."
Demi Tuhan.
Saat itu juga Bara berlari ke parkiran, meninggalkan studio berlatihnya karena beberapa hari lagi akan ada konser yang harus ia datangi.
Dengan kecepatan layaknya orang gila ia berkendara tanpa peduli dengan keselamatannya sendiri. Bayangkan saja, jarak yang seharusnya ditempuh dengan waktu 30 menit bisa tercapai dengan waktu 15 menit kurang. Bahkan ia hampir menabrak beberapa pengendara tadi.
Begitu sampai di depan ruangan Maya, Bara berhenti. Ketiga temannya datang dan menatap Maya dengan tangis yang meledak.
Jangan tanyakan orang tua Maya, kedua pasangan itu pergi ke luar negri yang Bara tidak ingin tahu kemana. Kalau perlu ke Kutub Utara saja sekalian hilang dimakan beruang putih atau ke padang pasir agar hilang ditelan pasir!
"Maya?" Tidak ada lagi suara yang tegas, kuat, dan rendah. Yang ada keluar hanyalah suara keputus asaan, lirih, dan sakit.
Ia tidak percaya, Maya membuka matanya. Tapi kenapa teman-temannya menangis? Bukankah seharusnya mereka bahagia temannya yang berbulan-bulan koma akhirnya bangun?
"Bara," Maya membalas Bara dengan senyum kecilnya. Perut Bara melilit kala suara Maya benar-benar pelan dan lirih.
Itu bukan suara Maya-nya.
Yang ia tahu suara Maya tegas dan dingin. Bukan seperti orang yang tercekik.
Bara berjalan mendekat dan detik itu juga ia bersimpuh di samping ranjang Maya. Melihat keseriusan diantara dua sejoli itu ketiga perempuan itu akhirnya memilih keluar dengan berat hati.
"Maafin gue May, please. Gue salah, gue brengsek, gue bajingan. Pukul gue May, bunuh gue kalo itu bisa ngehapus luka Lo. Please May, gue sayang sama Lo. Maafin gue May." Tangis Bara pecah seketika. Ia tidak bisa menahannya lagi. Melihat Maya sadar sudah membuat hatinya lebih baik, tetapi begitu sadar kondisi Maya yang didorong dengan alat-alat rumah sakit justru membuat hati laki-laki itu terhimpit.
"I'm fine Bar, it's okay. Semua sudah berlalu, jangan terlalu dipikir oke?" Balas Maya sembari mengelus rambut Bara dengan kasih sayang.
Ya Tuhan, ia sungguh menyayangi laki-laki di depannya ini.
"Akh!" Maya menjerit pelan kala sakit menyerang tubuhnya.
"May!" Baru saja Bara akan menekan tombol di dekat ranjang, tangan pucat itu memegangnya. Ia menggeleng pelan.
"Aku gapapa," realitanya sakit itu justru menyebar ke seluruh tubuhnya bahkan ia bisa merasakan sampai ke dalam tulangnya. Seakan seluruh tubuhnya tengah diremukkan oleh sesuatu yang keras.
Tapi sekali lagi, wanita adalah makhluk yang kuat. Bukan kuat fisik, tetapi kuat dalam mempertahankan sandiwaranya.
Dengan perlahan Maya melepas genggaman tangannya pada Bara.
Tidak bisa.
Ia tidak kuat.
Ia lelah.
Terlalu lelah.
"Bara, dengerin aku." Ucap Maya dengan pelan. Sakit yang menyerang membuat hampir seluruh tubuhnya terasa mati. Ia bersyukur tadi ia sempat menggenggam tangan Bara bahkan mengelus rambut Bara. Ia tahu, ia tidak bisa melakukan hal itu setelah ini.
Semuanya telah berakhir.
Gadis itu hanya bisa tersenyum lemah. Ia sudah tidak bisa apa-apa. Seluruh peralatan, selang, dan tabung itu menghambat apapun yang biasa ia lakukan.
Untuk bernafas saja ia sangat bersyukur.
Ia hanya bisa diam dan tersenyum disaat ia ingin tersenyum. Tidak bisa lagi ia menggenggam tangan besar itu, memeluk tubuh hangat itu, ataupun bahagia hanya karena gombalan kecil.
Perlahan bibir gadis itu terbuka, sedikit demi sedikit dengan sebuah paksaan. Hingga akhirnya terdengar sebuah kalimat yang bahkan bisa membuat siapapun terpukul dengan itu.
Sebuah kalimat sederhana namun cukup mencangkup seluruh cerita yang sudah ia buat bersamanya.
Kalimat yang keluar dengan suara yang mampu membuat laki-laki bertangan hangat itu menangis tanpa memikirkan siapa jati dirinya.
"Terimakasih, maaf untuk semua. Selamat tinggal."
THE END
Ga deng
Tinggal epilog
TAPI GUE SERIUS.
ABIS NIH CERITA.
COY SENENG BANGET DAH.
The truth, i hate sad ending.
But? Mau gimana lagi? Terlanjur wkwk
Finally Ya Allah, ada satu cerita gue yang tamat
Setelah berkali-kali publish cerita tapi ditarik lagi
Sebenernya gue bimbang mau bikin cerita
I'm not good at making story
As u can see
Cerita gue aneh banget
Absurd
Weird
Freak
Abstrak pake banget
I like writing but i totally bad at writing
Bahkan gue gak pede bikin ini cerita
Tapi kalo gue stuck buat apa?
Jalan di tempat?
Ga mungkin kan?
I'm trying to find my confidence
And
BOOM
This story finally end
Yeah tinggal satu part lagi si
Untuk Extra story i don't think that will be nice
Gantinya akan ada story yang gue garap
I think that will be fan fiction
And Jungkook will be the main character
Atau kalian minta teen fiction lagi?
Atau romance?
OKAY DARIPADA BANYAK BCT W PAMIT
DON'T FORGET TO VOMMENT(S)
I LOVE U
SO MUCH
-REVISI-
13 JUNI 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophile ✅[COMPLETED]
Genç KurguJika dia adalah tanah maka aku adalah langit. Dialah yang menjadi tempat tampungku. Dikala aku meneruskan cahaya matahari dengan bahagia atau menurunkan hujan kala sedih. Aku mencurahkan semuanya kepadanya. Dari kelemahan dan juga cerita gelapku. K...