Tujuan Maya ke taman adalah untuk menyegarkan pikirannya tetapi sekali lagi alam merubah semuanya. Tepat di depannya ia melihat punggung lebar yang menjadi rumahnya dulu.
Menjadi tempat singgah ternyaman yang pernah Maya tempati.
Benar-benar rumah.
Maya tersenyum, dulu yang duduk di sebelah Bara adalah dirinya. Bercanda tawa dan melakukan taruhan konyol. Tapi sekali lagi, itu dulu.
Kini tempat itu sudah terganti. Sudah disinggahi perempuan lain, perempuan yang Maya harapkan bisa membuat Bara bahagia.
Benar, Maya ingin Bara bahagia.
Maya berbalik, langkahnya perlahan meninggalkan taman kota. Ia tidak ingin menganggu suasana romantis itu.
Maya menghela nafas pelan, sepertinya ia lebih baik menyampaikan salam lewat itu.
Ya, itu akan lebih baik. Setidaknya baik untuk hatinya yang remuk.
Kembali.
Maya kira satu minggu cukup untuk menyatukan kembali serpihan-serpihan hatinya. Nyatanya? Penyatuan itu hanya sementara. Melihat Bara dan Putri tertawa membelakanginya adalah hal tersakit yang pernah Maya rasakan.
Ntahlah, terdengar berlebihan tapi benar adanya.
Tidak ada perempuan yang kuat. Semua perempuan itu lemah, itu sebabnya laki-laki diciptakan untuk melindungi mereka. Pertanyaannya,
Kapan Maya bertemu pelindungnya?
Tiba-tiba Maya merasa pipinya basah. Bukan, Maya tidak menangis. Ia mengadah, ternyata kesedihannya juga terdengar oleh langit.
Maya tersenyum.
Inilah alasannya menyukai hujan.
Hanya hujan, yang paling mengerti perasaannya.
Percayalah, ketika berada di bawah hujan Maya merasa bebas.
Ringan.
Bahagia.
Ntahlah, seakan seluruh bebannya larut bersama genangan air hujan. Seakan tetesan air itu turun untuk menghibur dirinya. Seakan langit gelap itu mengerti bahwa Maya memang dalam keadaan gelap.
Sebersit pertanyaan tiba-tiba menyelinap ke dalam kepalanya.
Kapan ia merasakan bebas yang sesungguhnya?
Bebas dalam artian ...
Maya lelah.
Sangat.
BRAK
"MAY!"
Senyum itu terbit sekali lagi. Bisa-bisanya hanya dengan mendengar suara itu Maya tersenyum.
Bodoh.
"May! Please bangun! Mayy! Bangun!"
Bangun?
Lalu merasakan semua sakit itu lagi?
Mendapat beban itu lagi?
Tidak.
Lebih baik Maya seperti ini.
Tenggelam dalam kegelapan.
***
Tak henti-hentinya Bara berdoa. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan UGD sembari berharap perempuan di dalam sana mampu berjuang.
Demi dirinya sendiri.
Demi Bara.
Bodoh sekali Bara menyampakkan Maya. Ia bukannya sudah tidak menyukai perempuan itu hanya saja,
Bara mendapat beasiswa.
Ia akan berkuliah di New York.
Ia takut akan menjalani hubungan jarak jauh dengan Maya. Ia juga takut Maya tidak bisa jauh darinya, melihat ketergantungan Maya terhadap dirinya.
Tolol.
Ia sungguh tolol memilih jalan ini.
Menjauhi Maya.
Menduakan Maya.
Menyakiti Maya.
Bodoh.
Bara bodoh.
"Duduk dulu Bar, seenggaknya diminum dulu teh angetnya." Suara lembut membuyarkan lamunan Bara. Bara menoleh dan mendapati Putri menatapnya dengan senyuman yang tetap saja tidak bisa mengalahkan senyuman Maya.
Sialan.
Ia rindu gadis itu.
Putri menghela nafas begitu merasa ia diacuhkan oleh Bara. Perempuan itu mengelus pundak Bara yang basah karena hujan.
"Duduk Bar," dengan cepat Bara menyingkirkan tangan Putri. Laki-laki itu menatap Putri dengan amarah.
"Gimana gue bisa duduk sementara Maya berjuang disana?! Gue gak tenang Put! Sekarang Maya butuh dorongan! Gue telfon mamanya aja ga dijawab! Satu-satunya yang dia punya gue Put! Gue!"
Putri terkejut. Bagaimana tidak? Lelaki di depannya menangis. Tiba-tiba hatinya terasa sakit. Sebegitu pentingkah Maya bagi Bara? Sampai Bara yang di kenal sangar menangis karena perempuan?
"Gue bodoh Put. Bener kata Maya, gue brengsek. Gue udah ngehancurin hidup Maya. Gue-gue bangsat Put." Tak kuat Bara mendudukkan dirinya dan bersandar pada tembok rumah sakit. Tubuhnya naik turun seiring dengan turunnya air mata. Sungguh, ia ingin Maya selamat. Ia tidak menyangka Maya berada di taman. Ia hanya mendengar suara tabrakan yang cukup keras ketika akan berteduh karena hujan mengguyur. Ia tak menyangka Maya yang satu minggu lalu menampar dirinya justru terkapar di jalanan dengan genangan darah yang menyatu dengan air hujan.
Putri hanya menatap Bara. Ia tidak ingin menganggu Bara. Biarkan saja Bara menangis.
Putri takut, jika ia menenangkan Bara ia justru ikut menangis karena hal bodoh.
Bodoh karena ia mencintai Bara.
Selamat menjalani lembaran baru kawan
Lupakan yang perlu dilupakan
Pelajari apa yang perlu dipelajari
Btw siap-siap ending wkwk
Lav ya!
-Ai
6 January 2019-REVISI-
13 JUNI 2020
![](https://img.wattpad.com/cover/145767619-288-k977186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophile ✅[COMPLETED]
Teen FictionJika dia adalah tanah maka aku adalah langit. Dialah yang menjadi tempat tampungku. Dikala aku meneruskan cahaya matahari dengan bahagia atau menurunkan hujan kala sedih. Aku mencurahkan semuanya kepadanya. Dari kelemahan dan juga cerita gelapku. K...