Twenty Eight

5.4K 428 39
                                    

MAYA POV

Beberapa hari sebelum aku bertemu Bara di kafe. Ian mendatangi kafe dan menemukanku. Aku agak terkejut karena baru saja aku bertemu dia pada akhirnya bertemu lagi.

Aku sempat melayaninya sebelum ia bertanya padaku.

"Lo beneran masih sama Bara?"

Sudah kedua kalinya ia bertanya padaku tentang hal itu. Aku mengernyit, menatapnya dengan tatapan tanya.

Ian menghembuskan nafasnya pelan. Aku memasang telingaku baik-baik, ntah kenapa terakhir aku bertemu Ian, wajahnya nampak ingin mengatakan sesuatu kepadaku hanya saja yang aku tahu ia menahannya kuat-kuat.

Sedetik kemudian aku menyesal telah memasang telingaku baik-baik. Apa yang kudengar bukanlah sesuatu yang baik. Tapi sesuatu yang menghancurkan hatiku detik itu juga.

Bara dan Putri resmi berpacaran.

Itulah yang kudengar.

"Kapan jadiannya?" Aku bertanya dengan nada bergetar. Ian menatapku kasihan.

"20 November."

Bukannya itu ketika aku ditinggalkan?

Aku terdiam sementara Ian menatapku dengan tatapan bersalah.

"Ada lagi," aku menoleh kepadanya.

Aku tahu Ian berusaha menormalkan rasa takut di wajahnya. Terlihat sekali ia gugup. Tapi aku tidak peduli. Ia harus mengatakan semuanya kepadaku sekarang.

"Lo cuma bahan taruhan."

Taruhan?

Ah pantas saja.

"Kapan?" Aku menanyakan dengan enteng. Bahkan di wajahku terbit senyum yang membuat Ian cukup terkejut.

"Waktu SD." Fine, setidaknya itu sudah menjawab semuanya.

Aku memang sakit.

Bahkan aku tidak bisa merasakan sakit itu. Terlalu dalam sampai aku tidak bisa merasakannya lagi.

Aku berdiri, menepuk bahu Ian dan menggumamkan kata terimakasih lalu berlalu. Bagaimanapun juga aku bukan perempuan kuat, aku tidak bisa menahan nangis di depan Ian.

Aku berjalan menuju belakang kafe. Terduduk di tembok dan menatap langit. Menangisi nasibku yang semakin hari semakin menyedihkan saja. Apa lagi yang harus ku hadapi?

Apa?

***

Tepat satu Minggu setelah aku melampiaskan segalanya pada Bara, aku justru berjalan ke rumahnya. Berbekal izin sehari oleh Kak Ari dan juga penataan perasaan selama seminggu ini. Membawa paper bag berisi beberapa barang yang ingin ku berikan dan kue yang baru saja aku panggang.

Kalian pikir aku akan apa?

Tebak.

Tidak, aku tidak akan mengajaknya balikan.

Tidak akan.

Niatku hanya dua, meminta maaf dan berterima kasih.

Sudah, itu saja. Aku hanya ingin perpisahan kami lebih baik. Aku sadar kemarin aku benar-benar tidak mempunyai attitude. Tapi jangan salahkan aku, emosiku berbeda dengan orang lain. Mungkin mereka menganggap aku penyabar, nyatanya mereka salah.

Aku hanya memendam.

Apa yang kulakukan Minggu kemarin adalah saat dimana aku meledak.

Menyeramkan?

Ayolah itu hanya level 2 dalam struktur emosiku.

Tanganku tergerak untuk mengetuk pintu kayu jati di depanku sambil berusaha mengatur nafas dan perasaanku.

Sudah 3 kali kuketuk dan tidak ada jawaban.

Apa mereka pergi?

Apa aku harus menelfon Bara?

Akhirnya aku menekan tombol telfon pada kontak Bara tapi sama saja.

Tidak diangkat.

Aku mengirimkan pesan juga tidak dibaca.

Aku menelfonnya lagi.

Apa kalian mengira aku menghapus nomor Bara? Memblock Ig nya? Line nya? Atau apapun itu?

Pfft tentu saja tidak.

Aku bukan orang seperti itu.

Satu Minggu cukup untuk menata semuanya.

Satu Minggu sudah aku rapalkan kalimat 'baik-baiklah dengan masa lalumu'.

Tetap tidak ada jawaban.

Aku menyerah.

Kakiku berjalan menjauh dari rumah Bara. Pikiranku mengelana. Mumpum libur kenapa tidak jalan-jalan? 
Sepertinya taman bukanlah ide yang buruk.

Benar bukan?





Oke janji sudah terpenuhi

So guys

Gimme ur vomment

I really apreciate it

Terimakasih sudah membaca story abalku ini :)

I love you so much
-Ai
18 Desember 2018

-REVISI-
13 JUNI 2020

Pluviophile ✅[COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang