“Tak ada orang yang benar-benar peduli dengan kehidupanmu. Maka, bertahan dan menjadi kuat lah untuk menjalani hidupmu,”
-oOo-
“Yakin lo nggak ikut?” tanya Nadine pada Allura sebelum ia meninggalkan kamar dengan Venya dan Nurma.
Allura menggeleng sambil tersenyum tipis.“Tuhkan, Nad. Dia emang nggak mau. Udah ayo, kita bertiga aja,” Venya terus menggenggam tangan Nadine. Allura tahu, Venya memang hanya ingin mengajak Nadine dan Nurma saja.
Nadine tidak enak meninggalkan Allura sendirian. “Lo nggak apa-apa beneran?” tanya Nadine memastikan.
Allura tersenyum. Ya, senyum palsu. “Iya … Nadine …”
“Gue tinggal, ya?” kata Nadine ragu-ragu.
Allura mengangguk dan menutup pintu kamar begitu mereka bertiga pergi.
Allura masih berdiri bahkan setelah pintu tertutup. Ia memejamkan matanya karena mulai memanas. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya untuk menetralkan perasaannya. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya—entah apa manfaatnya, tapi ia melakukan itu agar air matanya tidak terjatuh begitu saja. Dirinya tidak boleh seperti ini. Tidak boleh. Ia tidak boleh berlama-lama dengan kesedihannya karena ia sadar, hal itu bisa membuat hidupnya semakin tersiksa saja.
Allura mengambil hoodienya dan memutuskan untuk mencari teman yang lain. Ia baru ingat, ia masih memiliki 'stock' teman yang cukup banyak.
Allura merogoh kantung hoodienya. Ia mengambil sebuah benda dari sana. Senyumnya tersungging begitu melihat roti yang diberikan Athar masih awet sampai pagi ini. Allura mengusap-usap kemasan roti tersebut sembari tersenyum bahagia. Benar, bahagia itu sederhana. Ia tahu, ini bukan cincin melainkan hanya sepotong roti yang pasti akan basi. Tapi jujur saja, hal sekecil ini bisa membuat Allura bahagia.
Untuk menju lobby, Allura tentu harus memakai lift. Allura berdiri di depan lift dengan tangan yang masih memegang sebungkus roti cokelat. Begitu pintu lift terbuka, Allura terperanjat ketika melihat seorang lelaki yang bersandar di dinding lift dengan tangan yang terlipat di depan dada. Allura sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya ia masuk ke dalam lift yang hanya diisi oleh lelaki itu, Athar.
Ini memang pertemuan yang kesekian kali dengan Athar. Namun tetap saja, selalu ada reaksi ‘electric shock’ ketika bertemu lelaki itu secara tiba-tiba.
Dengan ekor matanya Athar melihat tangan Allura yang menggenggam sebungkus roti. Ia ingat betul bahwa roti yang gadis itu pegang adalah roti pemberiannya semalam. “Masih disimpen?” tanya Athar setelah beberapa saat diselimuti keheningan di antara mereka.
“Eh?” Allura salah tingkah. “I—iya,” kemudian ia menundukkan kepalanya karena tak ingin Athar melihat kedua pipinya memanas.
Diam-diam Athar tersenyum melihat kepolosan Allura. “Nggak dimakan?”
“Nggak lah!” jawab Allura dengan tegas hingga memmbuat Athar sedikit terkejut hingga mengedikkan bahunya. “Ma—maksud gue … nggak salah lagi!” Allura memberanikan diri untuk menatap mata Athar—menyembunyikan kegugupannya.
Seperti biasa, Athar tak meresponnya. Karena itu Allura kembali bertanya, “Mau kemana lo?”
“Ke mana pun gue, nggak ada penting-pentingnya buat lo,”
Allura mendengus sebal.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan masuk lah seorang perempuan yang begitu stylist sekali. Outfitnya mirip dengan style Red Velvet pada era Ice Cream Cake. Lihat saja, ia memadukan warna-warna pastel pada kaos lengan panjang dan rok pendeknya itu. Rambutnya sengaja dicepol rapi sehingga wajah perempuan itu terlihat lebih fresh. Ia lebih tinggi dari Allura, namun tak lebih tinggi dari Athar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle and Love On ✔
Diversos[SELESAI] Ini cerita tentang Allura yang terus berdiri melanjutkan hidupnya di atas garis luka yang sejujurnya sudah tak tertampung lagi. Juga ... Athar yang dunianya sudah tidak setenang dulu--sebelum semesta mempertemukannya dengan Allura. ... N...